Prawacana
Sebuah gerakan yang rapi dan
massif harus mengandaikan terbentuknya faktor-faktor produksi, distribusi dan
wilayah perebutan. Tanpa mengunakan logika ini maka gerakan akan selalu
terjebak pada heroisme sesaat dan kemudian mati tanpa meninggalkan apa-apa
selain kemasyuran dan kebanggaan diri belaka. Katakanlah kita sedang akan
membangun sebuah gerakan maka dimana wilayah perebutan yang akan kita temui dan
oleh karena itu apa yang harus kita produksi dan mengunakan jalur distribusi
seperti apa agar produk-produk gerakan kita tidak disabotase di tengah jalan.
Rangkaian produksi-distribusi-perebutan ini adalah sebuah mata rantai yang
tidak boleh putus, karena putusnya sebuah mata rantai ini berati matinya
gerakan atau setidak-tidaknya gerakan hanya akan menjadi tempat kader-kadernya
heroisme-ria. Dan yang lebih penting bahwa gerakan semacam ini akan lebih mudah
untuk di aborsi.
Yang pertama-tama perlu di
kembangkan di PMII adalah bahwa sejarah itu berjalan dengan masa lalu, bukan
karena semata-mata masa lalu itu ada, tetapi karena masa lalu telah membentuk
hari ini dan hari esok. Artinya capaian tertinggi dari sebuah gerakan adalah
ketika satu generasi telah berhasil mengantar generasi berikutnya menaiki
tangga yang lebih tingi. Visi historis inilah yang akan menjadikan PMII sebagai
organisasi besar yang berpandangan kedepan dan universal, karena PMII tidak
didirikan hanya untuk bertahan selama sepuluh atau dua puluh tahun, tetapi PMII
didirikan untuk melakukan perubahan tata struktur dan sistem. Dengan demikian
paradigma menempati posisi yang sangat vital dalam membangun gerakan PMII ke
depan, bukan semata-mata karena kita membutuhkan paradigma, tetapi karena
paradigma itu seharusnya memandu gerakan PMII dalam longue duree dalam
bingkai dunia.
Selama ini, perdebatan
paradigmatik di PMII hanya bersifat reaksioner, bukan sebuah inisiatif yang
didasarkan pada gerak maju yang terencana. Kondisi seperti inilah yang kemudian
membatasi ruang lingkup gerakan PMII yang hanya melingkar di orbit internal NU
dan tidak mampu melakukan pendudukan dan perebutan sektor-sektor setrategis
yang memiliki resonansi luas kepada publik. Sejauh berkaitan dengan perubahan
struktural yang dicitakan PMII, maka pendudukan dan perebutan sektor-sektor
publik adalah suatu keniscayaan. Masalahnya selama ini yang di puja-puja oleh
sebagaian besar aktifis PMII adalah gerakan kultural an sich yang
mengabaikan segala sesuatu yang bersifat struktur. Katakanlah dikotomi gerakan
kultural-struktural yang menjadikan PMII sebagai penjaga gerbang kultural
sementara organisasi kemahasiswaan yang lainnya, misalnya sebagai pemain
struktural telah menimbulkan kesesatan berfikir sedari awal tentang gerakan
yang dibayangkan (imagined movement) oleh kader-kader PMII, bahwa PMII
cukup hanya bergerak di LSM-LSM saja dan tidak perlu berorientasi di kekuasan.
Jadi paradigma merupakan suatu keniscayaan yang di bangun berdasakan atas
pandangan PMII tentang dunia dalam realitas globalisasi dan pasar bebas yang
saat ini sedang berjalan.
TATANAN EKONOMI-POLITIK INDONESIA3
Jalan panjang yang telah ditempuh bangsa
Indonesia untuk mewujudkan tatanan ekonomi yang lebih adil dan mensejahterakan seluruh rakyat, dapat
dikatakan berawal dengan mencari alternatif terhadap ekonomi liberal zaman
kolonial (1830-1870). Sebagai diketahui sistem kapitalisme Eropa meluas ke
Benua Asia dan Afrika dalam wujud kolonialisme, sesuai dengan sifat kapitalisme
yang ekspansif. Pertimbangan ekonomi-politik ekspansi tersebut ialah guna
menguasai sumber-sumber kekayaan alam, tenaga murah dan pasaran yang sangat
potensial karena ratusan juta penduduk, serta kesediaan tanah yang luas. (E.
Wallerstein, 1974, Rutgers, 1937).
Disamping terjadinya eksploitasi tenaga kerja
manusia (J. C. Breman, 1987) yang sudah melampaui batas-batas perikemanusiaan,
meluasnya ekonomi uang ke dalam masyarakat pedesaan merusak sendi-sendi
kehidupan masyarakat tersebut, sehingga ketergantungan dari perekonomian kita
semakin kuat. Terhadap eksploitasi petani dan buruh perkebunan tadi, sejak awal
abad ke-20 mulai timbul oposisi kaum sosialis di Belanda yang kemudian
berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda–Hindia juga “Politik Etnik” (1900)
mulai diterapkan dengan memberikan pelayanan kesehatan umum yang lebih baik,
memperluas kesempatan menempuh pendidikan, serta memberikan otonomi desa yang
lebih besar (1906).
Di jajaran birokrasi Hindia–Belanda yang dipimpin
oleh orang-orang Belanda juga, untungnya terdapat tokoh-tokoh yang progresif
juga dan ajaran-ajaran sosial demokrat memasuki masyarakat kita (Rutgers,
1937). Perluasan kesempatan pendidikan membuka peluang bagi putera-puteri
pribumi untuk mengenal dasar-dasar Demokrasi Barat yang memang tumbuh bersamaan
dengan Liberalisme dan Kapitalisme. Tetapi di Eropa pengendalian “Kapitalisme
dini” (vroeg-kapitalisme) sudah mulai menjelang abad ke-19, dan kaum
sosial-demokrat diseluruh Eropa Barat memegang peranan penting dalam usaha ke
arah membangun suatu negara sejahtera (welfare state).
Lebih-lebih setelah perang dunia pertama
(1914-1918) dan krisis ekonomi dunia (1930) politisi dan pakar ekonomi Barat
semakin yakin bahwa pemerintah mempunyai peranan penting dalam turut mengawasi
perputaran roda ekonomi, apabila kesejahteraan rakyat ingin diciptakan secara
merata. Sistem hukum, baik yang membatasi monopoli dan oligopoli, maupun yang
mengatur hak buruh dan kewajiban para pemodal dikembangkan, agar segi-segi
negatif kepitalisme dapat ditiadakan, atau paling tidak dikurangi dampaknya.
KILAS BALIK KETERPURUKAN INDONESIA: ANALISA EKONOMI-POLITIK4
Sejarah ekonomi bangsa selama masa penjajahan 3,5
abad menggambarkan eksploitasi sistem kapitalisme liberal atas ekonomi rakyat
yang berakibat pada pemiskinan dan distribusi pendapatan dan kekayaan
masyarakat yang sangat pincang. Struktur sosial ekonomi yang tak berkeadilan
sosial ini, melalui tekad luhur proklamasi kemerdekaan, hendak diubah menjadi
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dengan warisan sistem ekonomi dualistik dan
sistem sosial-budaya pluralistik, bangsa Indonesia membangun melalui “eksperimen”
sistem sosialis dan sistem kapitalis dalam suasana sistem ekonomi global yang
bernaluri pemangsa (predator). Eksperimen pertama berupa sistem ekonomi
sosialis (1959-66) gagal karena tidak sesuai dengan moral Pancasila dan
pluralisme bangsa, sedangkan eksperimen kedua yang “demokratis” berdasar sistem
kapitalisme pasar bebas (1966 – 1998) kebablasan karena paham internasional
liberalisme cum neoliberalisme makin agresif menguasai ekonomi Indonesia dalam
semangat globalisasi yang garang. Krisis moneter yang menyerang ekonomi
Indonesia tahun 1997 merontokkan sektor perbankan-modern yang keropos karena
sektor yang kapitalistik ini terlalu mengandalkan pada modal asing. Utang-utang
luar negeri yang makin besar, baik utang pemerintah maupun swasta, makin menyulitkan
ekonomi Indonesia karena resep-resep penyehatan ekonomi dari ajaran ekonomi
Neoklasik seperti Dana Moneter Internasional (IMF) tidak saja tidak menguatkan,
tetapi justru melemahkan daya tahan ekonomi rakyat. Sektor ekonomi rakyat
sendiri khususnya di luar Jawa menunjukkan daya tahan sangat tinggi menghadapi
krisis moneter yang berkepanjangan. Ekonomi Rakyat yang tahan banting telah
menyelamatkan ekonomi nasional dari ancaman kebangkrutan.
Krisis sosial dan krisis politik yang mengancam
keutuhan bangsa karena meledak bersamaan dengan krisis moneter 1997 bertambah
parah karena selama lebih dari 3 dekade sistem pemerintahan yang sentralistik
telah mematikan daya kreasi daerah dan masyarakat di daerah-daerah.
Desentralisasi dan Otonomi Daerah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
daerah dalam pembangunan ekonomi, sosial-budaya, dan politik daerah, menghadapi
hambatan dari kepentingan-kepentingan ekonomi angkuh dan mapan baik di pusat
maupun di daerah. Ekonomi Rakyat di daerah-daerah dalam pengembangannya
memerlukan dukungan modal, yang selama bertahun-tahun mengarus ke pusat karena
sistem perbankan sentralistik. Modal dari daerah makin deras mengalir ke pusat
selama krisis moneter. Undang-undang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan
Pusat-Daerah dikembangkan melalui kelembagaan ekonomi dan keuangan mikro, dan
peningkatan kepastian usaha di daerah-daerah. Kepastian usaha-usaha di daerah
ditingkatkan melalui pengembangan sistem keuangan Syariah dan sistem jaminan
sosial untuk penanggulangan kemiskinan, dan pengembangan program-program
santunan sosial, kesehatan, dan pendidikan.5
Krisis Moneter juga menciptakan suasana
ketergantungan ekonomi Indonesia pada kekuatan kapitalis luar negeri,
lebih-lebih melalui cara-cara pengobatan Dana Moneter Internasional (IMF) yang
tidak mempercayai serta mempertimbangkan kekuatan ekonomi rakyat dalam negeri
khususnya di daerah-daerah. Kebijakan, program, dan teori-teori ekonomi yang
menjadi dasar penyusunannya didasarkan pada model-model pembangunan Neoklasik
Amerika yang agresif tanpa mempertimbangkan kondisi nyata masyarakat plural di
Indonesia. Pakar-pakar ekonomi yang angkuh, yang terlalu percaya pada
model-model teoritik-abstrak, berpikir dan bekerja secara eksklusif tanpa
merasa memerlukan bantuan pakar-pakar non-ekonomi seperti sosiologi, ilmu-ilmu
budaya, dan etika. Strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada
pertumbuhan makro dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan telah secara
rata-rata menaikkan peringkat ekonomi Indonesia dari negara miskin ke peringkat
negara berpendapatan menengah, namun disertai distribusi pendapatan dan kekayaan
yang timpang, dan kemiskinan yang luas. Reformasi ekonomi, politik,
sosial-budaya, dan moral, membuka jalan pada reformasi total mengatasi berbagai
kesenjangan sosial-ekonomi yang makin merisaukan antara mereka yang kaya dan
mereka yang miskin, antara daerah-daerah yang maju seperti Jawa dan
daerah-daerah luar Jawa yang tertinggal.
Globalisasi dan Sejarah Ekonomi Internasional
Globalisasi kegiatan ekonomi
dan persoalan pengelolaannya sering dianggap baru muncul setelah Perang Dunia
II, khususnya pada tahun 1960-an. Masa sesudah tahun 1960-an adalah masa
munculnya perusahaan multinasional (MNC) dan berkembangnya perdagangan internasional.
Kemudian, setelah sistem nilai tukar setengah-tetap Bretton Woods ditinggalkan
pada tahun 1971-1973, investasi dalam bentuk surat-surat berharga internasional
dan pemberian kredit oleh bank mulai berkembang dengan cepat, seiring dengan
meluasnya pasar modal ke seluruh dunia, yang menambah rumit hubungan ekonomi
internasional dan membuka jalan bagi globalisasi ekonomi dunia yang
terintegrasi dan saling tergantung.
Sejarah meluasnya kegiatan
perusahaan ke seluruh dunia adalah sejarah yang teramat panjang, dan bukannya
baru dimulai pada tahun 1960. kegiatan dagang, misalnya, telah ada sejak zaman
peradaban kuno, tetapi pada Abad Pertengahan, barulah di Eropa, muncul kegiatan
dagang yang teratur lintas Negara, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang sifatnya
korporasi swasta, meski seringkali mendapat dukungan dan bantuan yang besar
dari pemerintahannya. Pada abad ke-14, para pedagang petualang memperdagangkan
wol dan tekstil yang dihasilkan Inggris ke Belanda, Belgia, Luxemburg, dan
Negara-negara lain. Selain itu, di Italia, perusahaan-perusahaan dagang dan
bank-bank memainkan peran penting dalam kegiatan perdagangan ke seluruh dunia
pada masa-masa awal Renaissance. Pada akhir abad ke-14, di Italia, ada sekitar
150 bank yang sudah melakukan kegiatan di berbagai Negara (Duning, 1993, hlm.
97-98). Dalam abad ke-17 dan ke-18
dukungan oleh Negara meluas dengan berdirinya perusahaan-perusahaan dagang
besar kolonial, seperti Dutch East India Company, British East India Company,
Muscovy Company, Royal Africa Company dan Hudson Bay Company. Semua perusahaan
ini mempelopori perdagangan berskala besar di wilayah yang kelak menjadi
wilayah jajahan yang penting.
Tetapi, penyebaran industri
ke seluruh dunialah, sebagai akibat dari revolusi industri, yang paling dekat
dengan perusahaan multinasional di zaman modern. Di sini peranan perusahaan
Inggris sebagai perusahaan multinasional pertama penghasil barang pabrik tampak
jelas. Mula-mula Amerika Utara dan Amerika Selatan membuka peluang untuk
penanaman modal yang paling menguntungkan, disusul kemudian oleh Afrika dan
Australia. Muncul perdebatan apakah “investasi kolonial” dapat dianggap
pendahulu penanaman modal asing, tetapi yang pasti produksi untuk pasar lokal
mulai dengan cara ini. Perkembangan teknik dan organisasi setelah tahun 1870-an
memungkinkan berbagai jenis barang yang sama dapat dihasilkan di dalam dan di
luar negeri oleh perusahaan yang sama, eksplorasi dan pengelolaan bahan tambang
dan bahan baku lainnya juga menarik penanaman modal asing dalam jumlah besar
(Dunning, 1993, Bab 5).
Namun, salah satu masalah
dengan klasifikasi yang berlaku surut seperti itu adalah konsep model
“penanaman modal asing” di satu pihak (ada pengendalian dari luar) dan
investasi “potofolio” di pihak lain (jual beli surat berharga yang diterbitkan
lembaga luar negeri untuk mendapat keuntungan tanpa ikut serta mengendalikan
atau mengelola) baru pada tahun 1960-an muncul, bersamaan dengan munculnya
istilah MNC (multinational corporation). Meski tidak ada klasifikasi
data yang konsisten, pada umumnya disepakati, MNC sudah ada dalam ekonomi dunia
setelah pertengahan abad ke-19 dan berdiri kokoh tidak lama sebelum Perang
Dunia I. kegiatan bisnis intenasional tumbuh pesat pada tahun 1920-an ketika
perusahaan multinasioanl yang benar-benar terdiversifikasi dan terintegrasi
kokoh, tetapi kemudian menurun selama masa depresi tahun 1930-an, hancur lebur
karena perang pada tahun 1940-an, dan bangkit kembali setelah tahun 1950.6
Sejarah bangsa-bangsa adalah
sejarah perang berbasis kepentingan ekonomi. Perang meliputi perang senjata,
perang ekonomi, dan perang budaya. Perang senjata adalah perangnya antar Negara
penjajah dalam memperebutkan daerah jajahan yang kaya sumberdaya alam. Perang
yang demikian adalah perwujudan dari kerakusan sistem kapitalisme-kolonialisme
dalam akumulasi modal melalui peperangan, akibatnya adalah Negara-negara terjajah
bangkit rasa nasionalismenya melawan penjajah dan melahirkan Negara-negara
merdeka, yang lazim disebut Negara Sedang Berkembang (NSB).7
Kapitalisme sebagai suatu
sistem dunia bermula pada akhir abad 15 dan awal abad 16 ketika orang-orang
Eropa yang menguasai pengetahuan pelayaran jarak jauh, menghambur keluar dari
sudut kecil dunia mereka dan mengarungi tujuh lautan, untuk melanklukan, merampas
dan berniaga. Sejak itu kapitalisme terdiri dari dua bagian yang berbeda tajam:
di satu pihak ada sejumlah kecil Negara-negara dominan yang memeras, dan di
pihak lain, dengan jauh lebih besar Negara-negara yang dikuasai dan diperas.
Keduanya terjalin secara tak terpisahkan dan tidak ada kejadian dalam kedua
Negara itu yang dapat dimengerti jika dilihat terpisah dari sistem itu yang
menjadi sebuah keharusan. Penting untuk menekankan bahwa hal itu benar, baik
untuk “kapitalisme modern”, dalam arti sistem kapitalisme masa kini,
maupun ketika ia masih merupakan kapitalisme merkantilis dari masa sebelum
revolusi industri.8
Seperti sejarah yang
mengalir mengikuti perubahan zaman, pola eksploitasi kapitalisme internasional
pun mengalami perubahan wujud eksploitasinya. Pada awal abad ke-16 di Inggris
terjadi revolusi industri yang memacu laju perkembangan kapitalisme awal.
Proses ini didorong lagi oleh munculnya revolusi Prancis pada tahun 1789, yaitu
revolusi yang mengakhiri hegemoni kaum feodal di Eropa Barat dan mendorong
matangnya kekuasan kaum borjuis. Di tangan para borjuis Eropalah kapitalisme
mulai menanamkan kuku eksploitasinya sampai ujung dunia.9
Ketika di Eropa Barat
terjadi over-produksi akibat maraknya industrialisasi, maka yang kemudian harus
dilakukan oleh Negara-negara Eropa adalah ekspansi ke daerah-daerah terbelakang
seperti Asia, Afrika, Pasifik dan Amerika. Maka lahirlah pembagian kekuasaan
atas wilayah-wilayah tersebut untuk memasarkan hasil industri dari Eropa dan
juga untuk mengambil bahan-bahan mentah bagi kepentingan industrialisasi di
Eropa. Daerah-daerah ini adalah daerah-daerah yang ketika itu belum mengalami
proses perubahan sejarah masyarakat seperti Eropa Barat zaman itu. Karena
perubahan kepentingan pula, maka dua Perang Dunia dihasilkan oleh kepentingan
kapitalisme internasional, Perang Dunia Pertama pada tahun 1918-1939 dan
kemudian Perang Dunia Kedua pada tahun 1940-1945 adalah sejarah nyata di mana
kapitalisme Vs kapitalisme berperang untuk menanamkan pengaruhnya terhadap
wilayah-wilayah jajahannya. Jadi perang yang dilakukan antara Blok Sekutu dan
Blok Fasis adalah perang antara dua kapitalis yang ingin melebarkan sayap
eksploitasinya terhadap Negara-negara dunia ketiga.
James Petras mengatakan
bahwa globalisasi telah dimulai pada abad 15, yaitu sejak mulai berkembangnya
kapitalisme yang ditandai dengan ekspansi, penaklukan dan penghisapan
Negara-negara di Asia, Afrika, Amerika Latin dan bahkan Amerika Utara dan
Australia oleh kekaisaran global pada waktu itu, Spanyol dan Portugis. Karena
itulah globalisasi selalu diasosiasikan dengan imperialisme, yaitu hubungan
global yang didasarkan pada akumulasi untuk Eropa, penghisapan dunia ketiga
untuk akumulasi dunia pertama.10 Menururt Pieterse,
globalisasi dimulai sejak 1950-an. Menurut Marx dimulai 1500-an dengan tema
kapitalisme modern. Wallerstein mencatat mulai 1500-an dengan tema sistem dunia
baru. Robertson menilai globalisasi mulai 1870-1920-an dengan tema
multidimensional, Giddens tahun 1800-an dengan tema modernitas, dan Tomilson
tahun 1960-an dengan tema planetarisasi budaya.11
Sementara Scholte,
menyatakan bahwa globalisasi berlangsung sejak tahun 1960-an, hal ini telah
membantu memperluas jangkauan dalam tiga komodifikasi dalam tiga wilayah. Pertama,
konsumerisme yang terhubungkan dengan produk-produk global yang diperluas oleh
kapitalisme industri. Kedua, pertumbuhan lembaga-lembaga yang
beroperasi dalam lingkup global (supra territorial) seperti global
banking dan global securities sehingga memperluas jangkauan modal
uang. Ketiga, globalisasi telah mendorong perluasan komodifikasi
dalam wilayah baru yang melibatkan informasi dan komunikasi sebagai akibatnya,
item-item software komputer dan telepon panggil telah menjadi objek
akumulasi.12
Sebenarnya sejak Bank Dunia
dan Dana Moneter Internasional (IMF) berdiri pada tahun 1944 serta GATT
(sekarang WTO) pada tahun 1947, praktis dunia sudah memasuki globalisasi
ekonomi, karena masalah pembangunan menjadi tanggung jawab internasional. Bank
Dunia mengucurkan dana pinjaman berbunga rendah bagi proyek-proyek pembangunan
di berbagai Negara untuk memajukan ekonominya, sedangkan IMF memberikan pinjaman
bagi Negara-negara yang mengalami kesulitan dalam neraca pembayaran luar negeri
dan GATT berfungsi untuk mengatur perdagangan global.13
Pada fase pasca PD II,
strategi ekonomi politik yang dilancarkan oleh AS dan para sekutunya adalah
strategi Developmentalisme14 (pembangunanisme),
untuk mengamankan investasi modalnya, kapitalisme internasional memberikan
dukungan bagi orang-orang kuat di sejumlah negara dunia ketiga yang berasal
dari jajaran militernya. Di Amerika Latin kita jumpai sejumlah regime yang
dipimpin oleh militer (otoriter), di Asia Tenggara dan Selatan juga dijumpai
regime otoriter yang kebanyakan dipimpin oleh militer. Militer pada zaman ini
adalah anak emas yang dibesarkan oleh kapitalisme dengan tujuan mengamankan
investasi modal. Pada fase ini (1960-1970-an)15 dekolonisasi ditawarkan
pada sejumlah Negara-negara jajahan Eropa Barat dan Amerika Serikat di Asia,
Afrika dan Pasifik serta sebagian Negara-negara Amerika Latin.16
Setelah perang dingin
berakhir, komunis runtuh, Uni Sovyet pudar dan blok komunisme hancur, secara
riil AS menghadapi musuh barunya: Negara-negara Eropa. Kelompok politik dan
ekonomi ini telah menjadi musuh baru AS, sebab di satu sisi mereka memang
mempunyai kemampuan untuk menyaingi AS dalam perdagangan dunia. Di sisi lain,
Negara-negara Eropa itu telah mulai bergerak untuk menggabungkan Negara-negara
Eropa Timur ke dalam Uni Eropa setelah Negara-negara itu berpindah dari
sosialisme ke sistem kapitalisme.
Pergeseran dan perubahan
konstelasi politik internasional itu telah mendorong AS untuk mengumumkan
kelahiran Tata Dunia Baru. Prinsip utama Tata Dunia Baru di bidang ekonomi, tak
lain adalah perdagangan bebas dan pasar bebas. Prinsip ini dimaksudkan untuk menjamin
terbukanya pasar dunia bagi perdagangan dan pendapatan AS. Untuk mewujudkan
strategi ekonominya ini, AS berupaya memperlemah dan memperlambat gerak pasar
bersama Eropa dengan membentuk blok-blok perdagangan baru, menghidupkan
kesepakatan-kesepakatan lama dan mengaktifkan kembali, mendirikan NAFTA yang
beranggotakan Canada, AS, dan Mexiko dan juga, membentuk APEC.
Pada bulan November 1992,
atas undangan Presiden Clinton, telah diadakan pertemuan puncak untuk membentuk
organisasi kerjasama ekonomi bagi Negara-negara Asia Pasifik itu (APEC).
Pendirian organisasi ini bertujuan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas,
membuka pasar-pasar, dan menekan bea masuk. Pendiriannya tidak dimaksudkan
untuk mewujudkan kesatuan ekonomi dan mata uang sebagaimana pasar bersama
Eropa. Pendirian APEC justru untuk tetap mengamankan pasar Asia Pasifik bagi AS
dari persaingannya dengan pasar bersama Eropa.17
AS melihat bahwa Uni Eropa
merupakan saingan kuat untuk menantang dan menyaingi AS di bidang ekonomi.
Alasan-alasan AS itu adalah: Pertama, kesatuan Eropa secara
politik dan ekonomi. Kedua, Eropa memiliki kemampuan bersaing di
bidang perdagangan, sebab Eropa mempunyai kemampuan tinggi dalam produksi
barang dan jasa. Ketiga, setelah berakhirnya perang dingin dan
hancurnya Uni Sovyet, lenyaplah momok komunisme yang sebelumnya digunakan AS
untuk mengancam Eropa. Eropa seluruhnya lalu berkonsentrasi dan bersiap-siap
dengan serius untuk terjun ke dalam kancah ekonomi internasional. Diantara
persiapan Eropa nampak dari fakta bahwa seluruh Eropa yang merupakan
Negara-negara industri yang produktif telah menghilangkan hambatan bea masuk di
antara mereka, membuka tapal batas Negara masing-masing untuk memudahkan
pemindahan tenaga kerja, dan berusaha mewujudkan kesatuan mata uang.18 Hal ini kemudian mendorong
Eropa untuk memasuki pasar-pasar di Asia dan Afrika, di samping faktor utama
bahwa Eropa memang mempunyai kapabilitas untuk bersaing dalam pasar bebas. Di
samping itu AS terdorong pula untuk memperkokoh pasarnya di Asia dan Eropa
dengan membentuk kelompok-kelompok ekonomi seperti APEC. Dan AS pun dalam hal
ini telah sukses pula menunggangi WTO (World Trade Orgazation) untuk
semakin melicinkan jalannya menguasai ekonomi dunia.
APEC mulai muncul ke
permukaan sejak tahun 1989 atas prakarsa Australia. APEC menghimpun 17 negara
yang berasal dari tiga benua; AS, Canada, Mexiko, Australia, Selandia Baru,
RRC, Jepang, Hongkong, Papua Nugini, Taiwan, Brunei, Malaysia, Indonesia,
Singapura, Philipina, Korea Selatan, dan Thailand. Organisasi ekonomi internasional
ini menggabungkan keanggotaan dua kelompok ekonomi besar, yaitu NAFTA yang
beranggotakan Negara-negara Amerika Utara, dan ASEAN yang beranggotakan
Negara-negara Asia Tenggara.
Negara-negara anggota APEC
menguasai 40 % dari keseluruhan volume perdagangan dunia, sekaligus merupakan
pasar yang jumlah konsumennya mencapai lebih dari 1 milyar jiwa. Dari seluruh
penjelasan tersebut, nampak bahwa AS telah berhasil mencapai target-targetnya untuk
merealisasikan prinsip-prinsip yang menjadi landasan ekonominya. AS nampak
terus mengembangkan dan membangunnya hingga stabil dan mantap, bahkan
menjadikan prinsip-prinsipnya itu sebagai realitas global yang tidak bisa
dihindari lagi. Akan tetapi, terwujud dan terbukanya pasar bebas secara
internasional itu, niscaya akan menambah semangat untuk bersaing secara
internasional pula. Di samping itu, produksi melimpah dari banyak Negara dan
blok ekonomi akan terus melestarikan sikap saling bersaing, mendominasi, dan
menguasai, yang didukung oleh kekuatan militer dan perluasan pengaruh untuk
melindungi penimbunan-penimbunan produk yang melimpah.19
Dalam analisis Friedman,
dunia saat ini adalah dalam era globalisasi kedua, yang dimulai sejak tahun
1989 setelah AS, Inggris dkk, memenangkan perang dingin. Jadi setelah era
perang dingin itulah tonggak globalisasi dengan tahapan yang lebih massif. Globalisasi
kedua hakikatnya adalah suatu proses dunia menjadi satu atap di bawah hegemoni
dan dominasi pemenang perang dingin. Negara-negara dunia ketiga atau
Negara-negara sedang berkembang mau tidak mau harus menerima kenyataan yang
demikian, yaitu menjadi bawahan AS dkk. Thomas L Friedman menyatakan bahwa
globalisasi diberi makna modernitas (the lexus) di mana masyarakat harus
berpersepsi fungsional melalui solidaritas organik20 yaitu menempatkan manusia
(bangsa) sebagai fungsi manusia lain (bangsa lain) untuk mencapai tujuannya.
Lawan dari the lexus (modernisasi) adalah the olive tree yaitu
masyarakat yang berpersepsi mistis, di mana mereka merasa menikmati hidup dalam
kungkungan tradisi. The lexus adalah symbol dari Negara-negara maju
(Canada, AS, Jerman, Italia, Perancis, dan Inggris) dan the olive tree
adalah symbol dari negara-negara sosialis dan Negara-negara sedang berkembang.
The olive tree harus menyesuaikan diri dengan the lexus, jika
mereka ingin tetap eksis.21
Globalisasi kedua ini
ditandai oleh lahirnya revolusi tekhnologi, revolusi telekomunikasi, dan
revolusi informasi. Ketiga revolusi itu mengakibatkan biaya produksi kapitalis
rendah dan kapital bisa menjelajah dunia tanpa kendala sehingga kapital dan
komoditi Negara-negara maju (the lexus) dapat menguasai dunia. Bagi
dunia kedua (blok sosialis) dan dunia ketiga harus menerima kenyataan ini.
Anthony Giddens, bahkan mengatakan jika globalisasi yang ditopang oleh revolusi
tekhnologi komunikasi tersebut tidak hanya baru, melainkan revolusioner.22
Akhirnya, globalisasi adalah
bentuk baru hegemoni ekonomi, legitimasi baru terhadap pasar, kompetisi dan
profit. Setelah dekolonisasi dan runtuhnya blok sosialis, globalisasi menjadi
bentuk baru hegemoni atas nama pasar bebas, revolusi informasi, dunia sebagai
satu dunia dan lain sebagainya. Akhir sejarah juga merupakan legitimasi baru
kapitalisme setelah runtuhnya komunisme, seolah-olah sejarah berhenti dan
waktunya habis. Revolusi informasi merupakan dalih baru untuk menyatukan dunia
atas nama tekhnologi komunikasi baru, dunia sebagai satu desa dan hukum pasar.23
Teori Sistem Dunia
Teori yang dikemukakan oleh
Immanuel Wallerstein, merupakan reaksi atas teori ketergantungan yang dianggap
tidak bisa menjelaskan gejala pembangunan di dunia ketiga. Dalam perspektif
sistem dunia, setiap Negara atau kawasan dilihat sebagai entitas yang tak
terpisahkan dari sistem dunia seperti sistem ekonomi global. Berdasarkan pandangan
ini, fenomena mobilitas antar Negara merupakan dampak dari proses perkembangan
ekonomi kapitalis di berbagai Negara. Semenjak kapitalisme tumbuh dan
berkembang ke luar dari Negara intinya di Eropa, Amerika Utara, Oceania dan
Jepang, belahan bumi ini seolah-olah terus membesar tanpa batas yang jelas dan
akhirnya melahirkan suatu masyarakat yang global.24
Immanuel Wallerstein mendefinisikan sistem dunia
sebagai “A Unit With A Single Division of Labour And Multiple Cultural
System”.25
Ini
merupakan sistem yang lahir dari proses transformasi struktural yang pernah ada
dalam sejarah. Dalam bahasa Wallerstein, sistem ini merupakan sistem yang
menyejarah (Historical System): suatu sistem yang dengan isinya lahir,
berkembang dan mati serta timbul kembali sebagai akibat adanya semacam proses
pembagian kerja terus-menerus dan lebih canggih. Dalam perkembangan itulah Wallerstein menyebut adanya 3 sistem yang
menyejarah: Sistem Mini (The Mini System), Sistem Kekaisaran Dunia (The
World Empires) dan Sistem Ekonomi Dunia (The World Economic System).
Farchan Bulkin menyebutkan
empat hal mengapa pendekatan sistem dunia penting dalam memahami dunia ketiga. Pertama,
sebagai usaha untuk meletakkan perkembangan politik dan ekonomi dunia ketiga ke
dalam pergolakan ekonomi dan politik, serta dinamika dan potensi untuk
perubahan dan transformasinya. Hal ini menjadi penting mengingat hampir
sebagian besar Negara dunia ketiga telah terintegrasi ke dalam pergolakan dan
ekonomi dunia. Kedua, watak dan ciri-ciri yang ditunjukkan oleh
Negara dunia ketiga juga bisa diuraikan logikanya dan diurut pertumbuhannya
dalam kaitannya dengan interaksinya dengan perekonomian dunia. Ketiga,
pendekatan sistem dunia telah menawarkan suatu logika atas
perbedaan-perbedaan substansial antara kekuatan-kekuatan politik yang tumbuh di
wilayah kapitalisme pusat dan pinggiran (peripheri), sehingga
hubungan-hubungan antara kekuatan-kekuatan di kedua wilayah menjadi jelas,
sekalipun tidak langsung dan masing-masing memainkan perannya dalam jaringan
sistem ekonomi dunia. Keempat, dengan pendekatan ini kita dapat
menempatkan kekuatan-kekuatan politik di dunia ketiga dalam suatu dinamika
perubahan yang menyeluruh dan global sifatnya.26
Proyek perang Amerika atas
Irak memiliki kecenderungan imperialistik, perang ini sejak awal tidak
dilandasi oleh sebuah alasan masuk akal yang bisa digunakan untuk membenarkan
invasi bersenjata sebuah Negara terhadap Negara lain. Karena perang tersebut
dalam banyak Hal bersandar pada kepentingan Amerika untuk mempertahankan
dominasinya dalam dunia internasional. Kepentingan untuk memperoleh keuntungan,
terutama atas minyak, pembangunan ekonomi pasca perang, dan kontrol serta
penguasaan terhadap pemerintah Irak yang baru oleh pemerintah Bush atau Amerika
tanpa batas waktu. Dalam politik internasional, imperialisme sering
didefinisikan sebagai penguasaan satu Negara kuat atas suatu wilayah atau
Negara yang lebih lemah dengan maksud untuk mengambil dan menguasai
penduduknya. Dalam pandangan kaum sosialis, imperialisme tidak dapat dipisahkan
dari ideologi kapitalisme yang dianut oleh Amerika Serikat dan sekutunya,
orang-orang kapitalis harus menguasai dan mengeksploitasi wilayah atau Negara
lain agar modal atau kapital yang dimiliki tetap berjumlah banyak. Pandangan
ini pernah secara eksplisit dikatakan Vladimir Ilych Lenin, pencetus Revolusi
Bolshevik di tahun 1917 dan pendiri Republik Sosialis Uni Sovyet dalam bukunya Imperialism:
The Highest Stage of Capitalism yang terbit di tahun 1919. Dalam buku
tersebut dikatakan bahwa Negara-negara kapitalis harus menjadi imperialis untuk
mempertahankan pasar atas barang mereka dan akses atas sumberdaya alam. Bahwa
penguasaan Negara kuat atas Negara lemah akan menyebabkan perang. Perang juga
dapat ditimbulkan karena persaingan antar Negara kapitalis dalam memperebutkan
wilayah jajahan. Irak dipilih sebagai Negara tujuan untuk dikuasai mengingat
Negara ini mempunyai banyak kelebihan yang diperlukan untuk mempertahankan
kebesaran Amerika. Cara-cara Amerika untuk menguasai dunia termasuk Irak bukan
terjadi demikian saja, tetapi penuh dengan perencanaan dan strategi dalam kerangka
politik global.
Faktor Pendorong Globalisasi
Globalisasi adalah suatu
proses yang menempatkan masyarakat dalam saling keterhubungan dalam bidang
ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Paham yang demikian itu disebut
globalisasi atau neo-liberalisme. Beberapa faktor pendorong globalisasi yaitu:
Pertama, kekuatan kaum kapitalis internasional, yaitu Negara-negara
imperialis pusat, Negara menjadi motor penggerak globalisasi karena ia memiliki
kekuasaan dalam mengatur formulasi strategis globalisasi, alokasi sumber daya
ekonomi pada aktor-aktor global termasuk MNC. MNC yang mampu beroperasi hampir
di seluruh dunia, dan merupakan sumber kekuatan dari globalisasi itu sendiri
dikemudian hari yang pada akhirnya peran MNC dalam dinamika globalisasi ini
begitu kuatnya seolah-olah MNC telah menjadi parasit yang memakan induk
semangnya dan menjadi lebih kuat dan lebih besar. Kekuatannya ini didukung oleh
Bretton Woods Institution, yaitu: Bank Dunia (World Bank, Dana
Moneter Internasional (IMF) dan GATT/WTO kemudian diaplikasikan pada tiga
sistem yaitu liberalisasi perdagangan, keuangan, investasi. Kedua,
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, khususnya di bidang
telekomunikasi. Ketiga, dukungan pemerintah Negara-negara sedang
berkembang (NSB) terhadap ekspansi kaum kapitalis internasional di Negara
mereka.
1. Kekuatan Kaum Kapitalis
Internasional
Sejak lima abad yang lalu
perusahaan-perusahaan di Negara-negara yang perekonomiannya telah maju, telah
meluaskan jangkauannya melalui aktivitas produksi dan perdagangan, yang semakin
intensif di masa penjajahan ke berbagai belahan dunia. Namun, sejak dua atau
tiga dekade yang lalu, globalisasi ekonomi telah semakin mempercepat perluasan
jangkauan tersebut sebagai akibat dari berbagai faktor, seperti perkembangan
tekhnologi dan terutama kebijakan-kebijakan liberalisasi yang telah menjalar ke
seluruh dunia.
Liberalisasi perdagangan
berarti menghilangkan segala peraturan yang bersifat melindungi industri dan
pasar domestik. Menurut logika neo-liberal, ekonomi Negara akan berkembang bila
ada kebebasan pasar. Liberalisasi ini juga berarti penghapusan beban-beban yang
harus ditanggung oleh swasta. Liberalisasi berarti kebebasan yang
seluas-luasnya bagi kapitalis untuk mengeruk keuntungan.27 Aspek-aspek terpenting yang
tercakup dalam proses globalisasi ekonomi adalah runtuhnya hambatan-hambatan
ekonomi nasional, meluasnya aktivitas-aktivitas produksi, keuangan dan
perdagangan secara internasional serta semakin berkembangnya kekuasaan
perusahaan-perusahaan transnasional dan institusi-institusi Moneter
Internasional. Walaupun globalisasi ekonomi merupakan proses yang terjadinya
tidak secara merata, dengan peningkatan perdagangan dan investasi hanya
terfokus di segelintir Negara saja, namun hampir semua Negara di dunia sangat
dipengaruhi oleh proses tersebut. Sebagai contoh, sebuah Negara berpendapatan
rendah yang pangsa perdagangannya sangat kecil dalam perdagangan dunia, namun
perubahan permintaan atau harga komoditas-komoditas ekspornya atau kebijakan
untuk secara cepat menurunkan bea-bea impornya dapat secara sosial dan ekonomi
berpengaruh besar pada Negara tersebut. Negara tersebut mungkin hanya memiliki
peran yang kecil dalam perdagangan dunia, namun perdagangan dunia memiliki
pengaruh yang sangat besar atas Negara tersebut, yang mungkin saja pengaruhnya
jauh lebih luas dibandingkan dengan pengaruhnya atas perekonomian-perekonomian
yang telah maju.28
Liberalisasi eksternal dari
perekonomian nasional mencakup penghapusan hambatan-hambatan nasional atas
aktivitas ekonomi, meningkatkan keterbuakaan dan integrasi dari Negara-negara
ke dalam pasar dunia. Di kebanyakan Negara, hambatan-hambatan nasional dalam
bidang moneter dan pasar uang, perdagangan dan investasi asing langsung secara
umumnya telah dihapus. Liberalisasi moneter adalah persoalan yang paling
mendapat perhatian. Selama ini telah terjadi liberalisasi yang ekstensif dan
progresif atas berbagai kontrol terhadap aliran dan pasar uang. Gugurnya sistem
Bretton Woods pada tahun 1972-1973, telah membuka peluang perdagangan valuta
asing, dan kegiatan tersebut telah berkembang secara spektakuler. Volume yang
diperdagangkan di pasar valuta asing dunia meningkat dari $ 5 milyar per hari
di tahun 1973 menjadi melebihi $ 900 milyar di tahun 1992, dan saat ini bahkan
telah melampaui $ 1000 milyar. Banyak dari transaksi tersebut merupakan
transaksi spekulatif, dan diperkirakan hanya sebagian kecil (kurang dari 2 %)
dari total valuta asing yang diperdagangkan digunakan sebagai pembayaran
perdagangan. Sehubungan dengan saling terkaitnya antara pasar uang, sistem
moneter dan aliran uang yang sangat besar, secara umum terdapat keprihatinan
yang semakin meningkat mengenai kerentanan dan ketidakstabilan maupun resiko
dari melemahnya bagian-bagian atau keseluruhan sistem yang ada, pada suatu saat
kesalahan terjadi dan berkembang di satu bagian dunia atau suatu bagian sistem,
dan dampaknya dapat tersebar luas.
Nilai tukar mata uang telah
menciptakan ketidakstabilan nilai tukar yang sangat tajam yang berbalik
mendorong terciptanya sebuah masa yang sangat besar pada dunia uang. Uang
tesebut tidak memiliki eksistensi di luar ekonomi global dan itu adalah
pasar-pasar uang utama. Hal itu belum pernah ada sebelumnya dalam praktek
ekonomi tradisional mengenai definisi uang, apakah itu standar ukurannya,
muatan nilainya, atau media pertukarannya. Benar-benar baru, tidak dikenal. Hal
tersebut tampak maya (virtual) dibanding dengan hal yang nyata (real).
Tetapi kekuatannya begitu nyata. Volume peredaran uang dunia begitu besar
pergerakannya yang masuk maupun yang keluar, mata uang memiliki dampak yang
besar dan jauh dibandingkan arus keuangan di sektor perdagangan, atau
investasi. Dalam satu hari uang maya (virtual money) yang diperdagangkan
senilai dengan seluruh uang yang dibutuhkan dalam transaksi keuangan sektor
perdagangan dan investasi selama satu tahun penuh. Virtual money
ini memiliki daya gerak yang sangat tinggi karena tidak terkait dengan
fungsi-fungsi ekonomi yang sudah ada. Masalah tersebut dimungkinkan karena hal
tersebut tidak memiliki kaitannya dengan fungsi ekonomi maupun fungsi keuangan
sama sekali, uang ini bahkan tidak mengikuti logika ekonomi maupun hal-hal yang
rasional. Hal itu begitu rentan dan mudah panik oleh isu-isu dan rumor atau
sesuatu peristiwa yang tidak diperkiraan. Satu contoh adalah ketika dollar
Amerika diburu pada musim gugur 1995 yang membuat tekanan terhadap Presiden
Clinton mengabaikan rencana dia tentang rencana pengeluaran dan neraca belanja
seimbang. Kekacauan dimulai oleh kegagalan para politikus Partai Republik di
senat untuk meloloskan amandemen konstitusi mengenai neraca belanja. Meskipun
amandemen tersebut lolos hal itu tidak akan berarti apa-apa. Hal tersebut akan
sulit karena harus melalui upaya ratifikasi di 38 negara bagian untuk dibuat
menjadi peraturan yang biasanya akan memakan waktu selama satu tahun. Tentu
saja hal itu membuat para pedagang mata uang menjadi panik dan mulailah kekacauan
dollar Amerika. Virtual money selalu muncul sebagai pemenangnya, ini
membuktikan bahwa ekonomi global telah menunjukkan kemampuannya menjadi
penengah yang baik disektor keuangan dan kebijakan dalam sektor fiskal.
Kekacauan mata uang, bagaimanapun juga bukan hal yang baik bagi ketidakstabilan
fiskal suatu Negara. Kasus di Mexico sesuatu yang mengerikan telah terjadi yang
konon lebih parah dari epidemik penyakit. Pada tahun 1995 kekacauan yang
menimpa Peso menghempaskan perjuangan ekonomi selama enam tahun yang berhasil
mengangkat Mexico dari Negara miskin menjadi Negara yang makmur. Sejauh ini
belum ada yang dapat mengontrol ketidakstabilan fiskal.29
Satu-satunya sistem yang
dapat bekerja ialah kebijakan fiskal dan keuangan satu Negara yang terbebas
dari hutang jengka pendek. Mudah berubahnya uang yang mampu menutupi defisit.
Jelas ini sepertinya membutuhkan suatu neraca seimbang atau sesuatu yang lebih
cenderung ke bentuk keseimbangan, selama tiga atau lima tahun periode berjalan.
Dan hal ini lalu menempatkan keterbatasan kepada otonomi kebijakan keuangan dan
fiskal nation-state yang pada tahun 1973 nilai tukar mengambang telah
terlepas sepanjang masa. Proses perbaikan di tingkat non nasional dan
supranasional sedang berjalan. Bahwa keputusan ekonomi yang mendasar diputuskan
oleh pengaruh ekonomi global daripada pengaruh yang terjadi di dalam negeri nation-state.
Bentuk tidak mengekangnya keuangan dan kedaulatan kebijakan keuangan yang
diberikan nation-state dalam nilai tukar mengambang 25 tahun yang lalu
sama sekali tidak baik lagi bagi pemerintah. Terjadi pemindahan pengaruh,
pengambil keputusan bukan lagi pemerintah tetapi malah para kelompok yang lebih
khusus. Sehingga pemerintah kehilangan kewibawaannya dan hal itu tentu saja
mengganggu jalannya kebijakan-kebijakan yang lain. Dan itu hampir terjadi di
setiap Negara di dunia. Ada fenomena menarik, yaitu ketika nation-state
kehilangan kedaulatan atas sistem keuangan dan fiskal malah terjadi penguatan.30
Keprihatinan-keprihatinan
terhadap kemungkinan krisis moneter global diperkuat oleh krisis keuangan di
Asia Timur, yang dimulai pada paruh kedua tahun 1997 dan menjalar hingga Rusia,
Brasil dan Negara-negara lain, menyebabkan kekacauan moneter dan resesi ekonomi
terburuk dalam periode pasca Perang Dunia II.
Liberalisasi perdagangan
juga meningkat secara gradual, namun tidak seperti yang terjadi pada
liberalisasi moneter. Peran perdagangan yang meningkat dibarengi dengan
pengurangan tarif secara umum, baik di Negara-negara maju maupun di NSB (Negara
sedang berkembang), sebagian sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan otonom dan
sebagian lagi sebagai akibat dari babak-babak putaran perdagangan multilateral
di bawah GTT (General Agreement on Tariff and Trade). Namun demikian,
tarif-tarif yang tinggi tetap masih muncul di Negara-negara maju, dalam
sektor-sektor seperti pertanian, tekstil dan produk-produk manufaktur tertentu,
yang merupakan sektor dimana (NSB) memiliki keunggulan komparatif. Lebih jauh
lagi, terdapat peningkatan penggunaan hambatan non tarif yang mempengaruhi
akses dari NSB ke pasar Negara-negara maju.31
Juga telah terjadi
pertumbuhan yang mantap dalam liberalisasi investasi asing langsung (FDI),
meski pada skala yang lebih kecil dari aliran moneter internasional. Kebanyakan
FDI dan peningkatannya merupakan akibat dari aliran-aliran dana invstasi
langsung di antara Negara-negara maju. Akan tetapi, sejak awal tahun 1990-an,
aliran FDI ke NSB telah meningkat secara relatif, dari rata-rata 17 % pada
tahun 1981-1990 menjadi 32 % pada tahun 1991-1995. Hat tersebut sejalan dengan
liberalisasi kebijakan-kebijakan investasi asing di kebanyakan NSB dalam waktu
belakangan ini. Namun, banyak dari FDI tersebut memusat hanya di beberapa NSB.
Secara khusus, Negara-negara terbelakang (Least Developed Countries)
menerima bagian yang sangat kecil dari aliran-aliran FDI tersebut, meskipun
mereka telah meliberalisasi kebijakan-kebijakannya. Dengan demikian, FDI bukan
merupakan suatu sumber keuangan eksternal yang signifikan kebanyakan NSB, yang
benar, kemungkinan masih tetap berlangsung dalam beberapa tahun mendatang.
Ciri utama dari globalisasi
adalah peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai sumberdaya dan kekuatan
ekonomi oleh perusahaan-perusahaan transnasional, maupun oleh
perusahaan-perusahaan keuangan dan dana global. Proses ini sering diistilahkan
sebagai transnasionalisasi, di mana semakin sedikit perusahaan transnasional
yang mampu meraih pangsa besar atau peningkatan proporsi secara cepat dari
pembagian sumberdaya ekonomi, produksi dan pangsa pasar. Jika dulu perusahaan
multinasional mendominasi pasar dari sebuah produk tunggal, saat ini perusahaan
transnasional yang besar secara khusus memproduksi dan menjual berbagai produk,
pelayanan di bidang-bidang yang kian beragam. Melalui marger dan akuisisi,
makin sedikit perusahaan transnasional yang saat ini mampu menguasai pangsa
pasar global yang lebih besar, baik dalam komoditas, barang-barang manufaktur
ataupun jasa.
2. Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Tekhnologi
Pada permulaan abad 21 ini,
trend global semakin variatif. Barang, uang, manusia, tekhnologi, dan informasi
dalam era globalisasi telah menyebar secara luas melewati batas Negara (nation
state cross border), yang berimplikasi terhadap semakin saling terhubungnya
setiap dinamika perubahan global saat ini, dan mengikat semakin kuat membentuk
suatu komunitas tunggal yang terintegrasi dan dalam hal ekonomi telah menjadi
semacam pasar tunggal. Hal ini telah menjadikan dunia sebuah global village.
Kehadiran tekhnologi komputer yang merupakan terobosan baru sebagai
infrastruktur global, bahkan sampai saat ini komputer telah menyandang sebagai
simbol kedua dari globalisasi. Tidak ada satu arenapun (ekonomi, politik,
sosial dan budaya) di dunia ini yang kebal dari tekhnologi komputer.32 Pada saat ini lebih dari
400 juta komputer digunakan di dunia,33 dan pertumbuhan penggunaan
komputer saat ini menembus angka 18 sampai 20 juta pertahun. Salah satu
penyebab utama dari pertumbuhan itu adalah tekhnologi mikroarsitektur yang
memungkinkan komputer dapat dibuat dengan ukuran mini yang praktis.
Perusahaan multinasional
(MNC) merupakan salah satu topik yang menarik dalam wacana kompetisi global.
Karakteristik utama dari sebuah MNC adalah pengelolaan jaringan bisnis yang
rumit dan mempunyai skala global oleh perusahaan induk, agar perusahaan cabang
dapat melakukan proses-proses produksi dan juga pemasaran sehingga tercapai
suatu bisnis secara global.34 MNC sebagai salah satu
pemain terbesar dalam kompetisi global tumbuh dengan cepat setelah era Perang
Dunia II, kunci keberhasilan itu adalah temuan berbagai inovasi tekhnologi yang
selalu direspon dengan positif oleh mereka.35 Tekhnologi informasi
sebagai perkembangan terbaru dalam dunia tekhnologi juga mendapatkan tempat
yang strategis dalam dunia bisnis berskala global, seperti yang dilakukan oleh Microsoft
Corporation. Dengan adanya tekhnologi komunikasi yang memungkinkan
terjadinya globalisasi komunikasi, telah menyebabkan berakhirnya dominasi
Negara-negara dalam melakukan monopoli dalam dunia telekomunikasi,36 dengan adanya internet perusahaan
dapat menyelenggarakan sistem informasi mereka sendiri secara lebih efisien
tanpa campur tangan yang berarti dari Negara. Pemotongan birokrasi dalam
proses-proses perdagangan antar Negara yang dapat dilakukan oleh tekhnologi ini
akan berimplikasi terhadap efisiensi yang cukup tinggi.
Sistem syaraf digital yang
merupakan suatu upaya eksplorasi tekhnologi informasi yang dibangun Microsoft
layak disebut sebagai salah satu infrastruktur terjadinya globalisasi, karena
sistem tersebut dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan hubungan
komunikasi secara global dengan sistem yang tunggal yang melewati batas-batas
Negara tanpa campur tangan yang berarti dari Negara yang bersangkutan. Di masa
datang jika sistem syaraf digital dapat di bangun dengan sempurna, maka akan
terciptalah pola hubungan yang sangat komplek antar manusia di bumi di mana
kegiatan sekelompok orang, individu maupun sebuah institusi di tempat lain
dapat dipantau dengan kecepatan tekhnologi informasi tersebut. Di sinilah
kemudian akan terjadi apa yang disebut complex interdependence, di mana
jika sudah mencapai tahap interlocking, kehidupan manusia di bumi harus
senantiasa selaras dengan meminimalisasi konflik, sebab jika pada tahap ini
terjadi sebuah konflik yang besar akan memicu sebuah efek yang destruktif.
Era digital atau sering
disebut dengan abad informasi yang ditandai dengan kehadiran tekhnologi
internet, telah merubah segalanya, dan salah satu perubahan itu terjadi pada
dunia bisnis. Terobosan-terobosan yang dapat dilakukan oleh tekhnologi
informasi telah terbukti mampu meningkatkan kinerja sebuah perusahaan.
Tekhnologi ini kemudian dijadikan sebagai salah satu infrastruktur utama di
sebuah perusahaan ataupun pemerintahan suatu Negara dalam rangka menyusun
strategi kompetisi global. Tekhnologi Informasi (TI) yang kini berkembang amat
pesat, tak bisa dipungkiri memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
seluruh proses globalisasi ini.
Mulai dari wahana TI yang
paling sederhana berupa perangkat radio dan televisi, hingga internet dan
telepon genggam dengan protocol aplikasi tanpa kabel (WAP), informasi mengalir
dengan sangat cepat dan menyeruak ruang kesadaran banyak orang. Perubahan
informasi kini tidak lagi ada dalam skala minggu atau hari atau bahkan jam,
melainkan sudah berada dalam skala menit dan detik. Perubahan harga saham
sebuah perusahaan farmasi di Bursa Efek Jakarta hanya membutuhkan waktu kurang
dari sepersepuluh detik untuk diketahui di Surabaya. Indeks nilai tukar dollar
yang ditentukan di Wall Street, AS, dalam waktu kurang dari satu menit sudah
dikonfirmasi oleh Bank Indonesia di Medan Merdeka.
Hal ini akhirnya menuju pada
sebuah Global Brain yang memungkinkan akselerasi perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi di dunia. Dunia penelitian, bisnis, industri dimungkinkan
untuk menggunakan suberdaya manusia maupun fasilitas lainnya tanpa terikat pada
dimensi-dimensi ruang dan batas-batas Negara.37
Sebuah Negara, perusahaan,
ataupun organisasi untuk memikirkan sebuah alternatif dalam tingkat persaingan
yang tinggi yaitu mengembangkan sistem informasi dan menggunakan tekhnologi
informasi semaksimal mungkin sebagai alat untuk melakukan persaingan dengan
yang lainnya. Karena di era global ini setiap informasi yang didapat tidaklah
dapat dilepaskan dari rantai tekhnologi, informasi adalah hasil pengolahan data
mentah, sedangkan tekhnologi informasi merupakan tulang punggung pengolahan dan
penyimpanan informasi tanpa mengenal batas ruang dan waktu.
Hanya pihak yang menguasai
tekhnologi informasilah yang dapat eksis dalam era revolusi global saat ini.
Joseph S. Nye menjelaskan bahwa globalisasi bukan menyengsarakan masyarakat
miskin, tetapi justru menguntungkan. Dengan adanya perkembangan tekhnologi
informasi dan modal internasional, manusia bisa mendapatkan keuntungan besar.
Argumen ini dikuatkan oleh beberapa hasil penelitian di beberapa Negara berkembang,
misalnya perbandingan antara Korea Selatan dan Ghana, pada tahun 1960-an kedua
Negara tersebut mempunyai pendapatan perkapita yang sama, tetapi sekarang Korea
Selatan lebih mampu memanfaatkan globalisasi, sehingga lebih kaya 30 kali lipat
disbanding Ghana, dan dapat menghilangkan ketimpangan tingkat kesejahteraannya,
dapat mengirit ongkos dan mempermudah informasi dengan Negara-negara industri
yang telah lama maju.38 Meskipun globalisasi
berhasil mengembangkan berbagai tekhnologi dan komunikasi yang memudahkan atau
dapat memecahkan persoalan-persoalan, tak urung pula secara faktual
keberhasilan tersebut makin mempertajam kemiskinan, baik ditingkat nasional
maupun hubungan antar Negara.
3. Dukungan Pemerintah
Negara-negara Sedang Berkembang
Pelaku utama dari
globalisasi adalah Negara imperialis yang berkuasa39 artinya Negara yang
mempunyai prinsip ekonomi world competitive dan mereka tidak mempunyai
kerugian apa-apa karena semua biaya yang dikeluarkan berasal dari pembukaan
pasar (open market). Kelompok ini hendak memperjuangkan globalisasi yang
bebas (unrestricted globalization), mereka cenderung untuk membuka
perekonomian mereka dan sebagai gantinya mereka juga menuntut Negara lain agar
membuka perekonomiannya. Kelompok kedua yang pro globalisasi adalah
Negara-negara pelayan (clients) dari kelompok pertama. Kelompok kedua
(NSB) ini mengkhususkan dirinya pada ekspor barang-barang agromineral,
kelautan, dan kehutanan yang semua itu mendukung produk dan memberi keuntungan
bagi kelompok pertama.40
Negara imperialis juga
memainkan peran penting dalam membuka pintu perekonomian dunia dengan
menciptakan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF dan
GATT/WTO. Lembaga-lembaga ini dikontrol oleh orang-orang yang ditunjuk oleh
Negara imperialis di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa.
Fungsi mereka adalah menggantikan peran pasar domestik dan produsen lokal serta
menghancurkan lembaga sosial setempat dengan tujuan memfasilitasi masuknya MNC
dan terjaminnya ekspor barang-barang kebutuhan Negara dunia pertama. Negara
imperialis memainkan peran penting dalam pembangunan kembali ekonomi
perusahaan-perusahaan raksasa, mereka memberikan bantuan militer dan
perlindungan politik bagi perluasan MNC, sementara MNC tersebut membiayai
lembaga keuangan internasional yang bertugas untuk membuka pasar baru dan
tempat investasi yang baru. Di bawah bayang-bayang modal multinasional
korporasi, Negara imperialis juga ikut mensubsidi dan membiayai ekspansi modal,
sementara di sisi lain penghisapan terhadap pasar domestik terus dilakukan
untuk membiayai ekspansi tersebut.41
Kebijakan domestik maupun
internasional pemerintah Negara-negara berkembang itu ditransformasikan melalui
introduksi dan adopsi semacam reformasi liberalisasi ekonomi yang diniatkan
untuk menata kembali peran dan keterlibatan Negara dalam ekonomi.42 Reformasi ini didukung
dengan berbagai derajat antusiasme yang berlainan di berbagai Negara
berkembang, tapi jelas efeknya mengarah pada sebuah reduksi internasional
terhadap intervensi pemerintah dalam perekonomian, mengarah pada meningkatnya
kepercayaan atas mekanisme pasar dan kebebasan yang lebih besar bagi sektor
swasta, yaitu makin banyak dianutnya marketisasi dan privatisasi. Bahkan di
Negara seperti India, Brasil, dan Nigeria di mana nasionalisme ekonomi mengakar
secara historis, investor asing tidak hanya disambut dengan penghapusan
pembatasan penanaman modal asing, melainkan juga dengan tawaran insentif bagi
investasi baru.43
Sementara itu di Dunia
Ketiga, peran Negara tidak bisa dihilangkan. Ada relasi yang dialektis antara
peran Negara di pasar domestik dan proses globalisasi. Dengan kebijakan upah
rendah, pengurangan subsidi, dan pemupukan modal swasta, Negara Dunia Ketiga
mengonsentrasikan pendapatannya untuk ekspansi ke luar (globalisasi ataupun capital
relocation). Proses ini sudah terlihat jelas dalam program yang dikenal
dengan istilah Struktural Adjustment Programs (SAPs) atau program
pengetatan ekonomi. Program ini dirancang oleh Bank Dunia dan IMF yang bekerja
sama dengan elite Negara Dunia Ketiga, tujuannya adalah meningkatkan arus
keluar modal dan kesediaan pasar nasional untuk melakukan swastanisasi bagi
kepentingan MNC.44 Berikut adalah contoh
beberapa persyaratan SAP:45
- . Penghapusan tarif-tarif yang membantu industri-industri kecil lokal agar tetap mampu bertahan hidup berhadapan dengan perusahaan-perusahaan besar global. Padahal, tarif-tarif tersebut sesungguhnya memberi ruang bernafas bagi Negara-negara miskin untuk berkembang secara internal dalam menghadapi pesaing-pesaing yang lebih besar dan lebih kaya.
- . Penghapusan berbagai peraturan dalam negeri yang mungkin dapat menghambat atau terlalu banyak mengatur masuknya investasi luar negeri. Dengan demikian ini memungkinkan para pemodal dan korporasi global untuk secara bebas masuk dan dengan mudah menguasai bisnis-bisnis di tingkat lokal, bahkan tak jarang di seluruh lini perekonomian.
- . Penghapusan kontrol harga (bahkan berkenaan dengan kebutuhan pokok seperti pengadaan air sekalipun) dan secara tidak adil mewajibkan pemberlakuan terhadap kontrol atas upah. Alhasil, sudah dapat dipastikan para pekerja yang upahnya sudah teramat kecil, menjadi semakin kecil kemampuannya untuk bertahan hidup.
- . Pengurangan secara drastis berbagai pelayanan sosial dan badan-badan yang menjalankannya, seperti pelayanan kesehatan, perawatan medis, pendidikan, bantuan pangan, bantuan usaha kecil, angkutan, sanitasi, air dll. Kerap kali berbagai pelayanan tersebut diprivatisasi sehingga bantuan yang sebelumnya diterima Cuma-Cuma oleh rakyat, kini memerlukan biaya yang ujung-ujungnya harus dibayarkan kepada korporasi global. Akibatnya, begitu banyak orang tidak mampu membayarnya, sehingga secara otomatis mereka tersingkir keluar dari sistem.
- . Penghancuran secara agresif atas program-program rakyat, yang menjadi sarana bagi bangsa-bangsa untuk bisa mencapai kemandirian dalam hal kebutuhan pokok. Tentu saja, korporasi-korporasi global tidak bisa mendapatkan keuntungan jika bangsa-bangsa mampu memecahkan persoalan dalam negeri mereka sendiri, keuntungan korporasi global itu sendiri berasal dari pengembangan proses-proses penciptaan nilai tambah, khususnya melalui perdagangan global.
- . Perubahan yang dilaksanakan secara cepat atas perekonomian dalam negeri untuk menekankan produksi ekspor, yang biasanya dikelola tanpa ketatalaksanaan langsung dari investor asing dan korporasi global. Produksi yang terdiversifikasi secara lokal dan berskala kecil, seperti dalam bidang industri atau pertanian, akan digantikan dengan produksi berorientasi ekspor uang terspesialisasi dalam skala besar. Dalam hal ini, teori yang berlaku adalah ketika Negara-negara memusatkan produksi mereka pada sejumlah kecil produk ekspor, maka mereka akan mendapatkan cadangan devisa (foreign exchange) dalam jumlah yang jauh lebih besar. Dengan demikian mereka akan mampu membeli barang-barang kebutuhan mereka di pasar-pasar asing.
Globalisasi dan Krisis Masyarakat Kapitalisme
Dampak perkembangan
konstelasi politik-ekonomi internasional adalah efek globalisasi yang telah
masuk ke segala sendi kehidupan manusia di dunia internasional. Dampak dari
perkembangan ilmu pengetahuan telah timbul berbagai masalah. Ternyata
perkembangan ilmu pengetahuan tidak mampu mengatasi, jurang yang besar antara
Negara kaya dan miskin, masyarakat marginal, kelaparan, kemiskinan internasional,
dan masalah perkembangan indigeneous technology di dunia ketiga.46 Jelaslah bahwa perkembangan
ilmu pengetahuan, dinamik yang menguasai jurusan-jurusan pertumbuhannya serta
pilihan-pilihan masalahnya seperti juga tekhnologi, tidak berdiri sendiri,
merupakan bagian dari sistem sosial, lengkap dengan tujuan-tujuan, kepentingan,
prioritas, serta sistem nilainya.47 Oleh karena itu pilihan
tekhnologi tidak boleh diambil hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
mengenai implikasi sosialnya.48
Dalam hal ini ilmu
pengetahuan dalam bidang tekhnologi informasi memberikan pengaruh yang sangat
besar dalam perkembangan globalisasi dan pada akhirnya menimbulkan krisis di
masyarakat kapitalisme. Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang
masyarakat kapitalisme, penulis paparkan lebih mendetail perihal relasi Negara,
globalisasi dan logika neo-liberalisme. Karena paham tersebut merupakan sebuah
ideologi sebagai dampak dari krisis kapitalisme. Dan tentunya seluruh sistem
sosial.
Globalisasi yang
diperjuangkan oleh aktor-aktor globalisasi yakni perusahaan-perusahaan
transnasional (TNC, Trans-National Corporations) dan Bank Dunia/IMF melalui
kesepakatan yang dibuat di World Trade Organization (WTO, Organisasi
Perdagangan Dunia) sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang dikenal
dengan sebutan “neo-liberlisme”. Neo-liberalisme pada dasarnya tidak ada bedanya
dengan liberalisme. Para penganut neo-liberlisme percaya bahwa pertumbuhan
ekonomi adalah hasil normal “kompetisi bebas”. Mereka percaya bahwa ‘pasar
bebas” itu efisien, dan cara yang tepat untuk mengalokasikan sumberdaya alam
yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa menjadi
indikator apakah sumberdaya telah habis atau masih banyak. Kalau harga murah,
berarti persediaan memadai. Harga mahal artinya produksinya mulai langka. Harga
tinggi maka orang akan menanam modal ke sana. Oleh sebab itu, harga menjadi
tanda apa yang harus diproduksi. Itulah alasan mengapa neo-liberalisme tidak
ingin pemerintah ikut campur tangan dalam ekonomi. “Serahkan saja pada
mekanisme dan hukum pasar”, demikian keyakinan mereka. Keputusan individual
atas interes pribadi diharapkan mendapat bimbingan dari invisible hand
(tangan yang tidak tampak), sehingga masyarakat akan mendapat berkah dari
ribuan keputusan individual tersebut. Kekayaan yang dikuasai oleh segelintir
orang tersebut pada akhirnya akan trickle down (menetes ke bawah) kepada
anggota masyarakat yang lain. Oleh karena itu sedikit orang tersebut perlu
difasilitasi dan dilindungi. Kalau perlu jangan dipajaki.
Krisis berkepanjangan yang
menimpa kapitalisme awal abad 19, yang berdampak depresi ekonomi 1930-an
berakibat tenggelamnya paham liberalisme. Pendulum beralih memperbesar
pemerintah sejak Roosevelt dengan “New Deal” tahun 1935. Tetapi dalam
perjalanan kapitalisme, di akhir abad 20 pertumbuhan dan akumulasi kapital
menjadi lambat. Kapitalisme memerlukan strategi baru untuk mempercepat
pertumbuhan dan akumulasi kapital. Strategi yang ditempuh adalah menyingkirkan
segenap rintangan investasi dan pasar bebas, dengan memberlakukan perlindungan
hak milik intelektual, good governance (pemerintahan yang baik),
penghapusan subsidi dan program proteksi rakyat, deregulasi, penguatan civil
society, program anti-korupsi, dan lain sebagainya. Untuk itu diperlukan
suatu tatanan perdagangan global, dan sejak itulah gagasan globalisasi
dimunculkan. Dengan demikian globalisasi pada dasarnya berpijak pada
kebangkitan kembali paham liberalisme, suatu paham yang dikenal sebagai
neo-liberalisme. Neo-liberalisme sesungguhnya ditandai dengan kebijakan pasar
bebas, yang mendorong perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas
tanggungjawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan
birokrat dan “parasit” pemerintah, yang tidak akan pernah mampu meskipun
dikembangkan. Aturan dasar kaum neo-liberal adalah “Liberalisasikan perdagangan
dan keuangan”, “Biarkan pasar menentukan harga”, “Akhiri inflasi, Stabilisasi
ekonomi-makro, dan privatisasi”, “Pemerintah harus menyingkir dari menghalangi
jalan”. Paham inilah yang saat ini mengglobal dengan mengembangkan “consensus”
yang dipaksakan yang dikenal dengan “Globalisasi”, sehingga terciptalah suatu
tata dunia. Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam apa yang dikenal “The
Neo-Liberal Washington Consensus”, yang terdiri dari para pembela ekonomi
swasta terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan
menguasai ekonomi internasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi
informasi kebijakan dalam membentuk opini publik.
Pokok-pokok pendirian
neo-liberal meliputi, pertama, bebaskan perusahaan swasta dari campur
tangan pemerintah, misalnya jauhkan pemerintah dari campur tangan di bidang
perburuhan, investasi, harga serta biarkan perusahaan itu mangatur diri sendiri
untuk tumbuh dengan menyediakan kawasan pertumbuhan. Kedua, hentikan
subsidi Negara kepada rakyat karena bertentangan dengan prinsip pasar dan
persaingan bebas. Negara harus melakukan swastanisasi semua perusahaan Negara,
karena perusahaan Negara dibuat untuk melaksanakan subsidi Negara pada rakyat.
Ini juga menghambat persaingan bebas. Ketiga, hapuskan ideologi “kesejahteraan
bersama” dan pemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat
“tradisional” karena menghalangi pertumbuhan. Serahkan manajemen sumberdaya
alam kepada ahlinya, bukan kepada masyarakat “tradisional” (sebutan bagi
masyarakat adaptif) yang tidak mampu mengelola sumberdaya alam secara efisien
dan efektif.
Indonesia
Dalam Globalisasi
Dalam peradapan baru dunia
global, kemajuan tekhnologi dan informasi menjadi infrastruktur penopang bergeraknya
globalisasi dan liberalisasi ekonomi (baca neoliberal). Sebagai contohnya
keberadaan pasar maya yang merupakan sistem dan tatanan baru bagi keuangan
internasional yang kemudian banyak disebut dengan disebut dengan pasar modal
dan pasar uang. Kemajuan elektronik global, membuat para pemegang modal
diberbagai sektor seperti keuangan, perbankan, investasi langsung dan
lain-lain, dengan mudahnya dapat memindahkan modalnya dalam jumlah besar dari
negara yang lain ke negara yang lainnya hanya dengan memencet mouse kompiuter
dengan jaringan internet yang terakses langsung disemua negara di dunia.
Sehingga dengan mudahnya mereka malakukan intervensi terhadap perekonomian satu
negara bahkan satu kawasan. Karena pergerakan aliran lalu lintas modal global sangat
mempengaruhi pasar modal dalam satu negara. Selain itu terpakunya standar
pertukaran internasional hanya pada dollar AS, mempunyai kecenderungan untuk
mempengaruhi perputaran dan pergerakan pasar uang global.
Sistem dunia akan terus
bergerak dan mempunyai kecenderungan untuk bergerak linier yang akan berproses
secara kompleks serta akan selalu memunculkan kontradiktif atau pertentangan.
Sistem dunia juga akan merasuki semua aspek kehidupan manusia dan negara,
sehingga ada kecenderunagn suatu negara tak terkecuali Indonesia akan
kehilangan sebagian kekuatan ekonominya. Dilain pihak globalisasi akan
mendorong kekuatan-kekuatan lokal (baca kearifan lokal) untuk mampu bertahan
dalam dunia yang menglobal ini.
Sebagaimana dikatakan oleh
Anthony Giddens, “Globalisasi tidak hanya berkaitan dengan sistem-sistem besar,
seperti tatanan keuangan dunia, globalisasi bukan sekedar apa yang ada diluar
sana terpisah, dan jauh dari orang perorang. Ia juga merupakan fenomena di sini
yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan kita yang intim dan pribadi. Perdebatan
mengenai nilai-nilai keluarga yang tengah berlangsung di banyak negara
misalnya, mungkin terkesan sangat jauh dari pengaruh globalisasi. Tidak
demikian halnya, dibanyak belahan dunia, sistem keluarga tradisional kian
berubah atau terdesak khususnya setelah kaum perempuan menuntut kesetaraan yang
lebih besar. Sepanjang yang kita ketahui dari catatan sejarah, belum pernah ada
masyarakat yang kaum perempuannya hampir setara dengan pria. Ini sunguh
merupakan revolusi global dalam kehidupan sehari-hari yang konsekwensinya
dirasakan diseluruh dunia, dari wilayah kerja hingga wilayah politik”. (Anthony
Giddens : 2001)
Keberadaan Indonesia tidak
lepas dari pergerakan di luar apalagi dalam dunia yang menglobal. Dinamika perpolitikan
internasional yang akan mendorong semakin menguatnya trend global kedepan dan
trend ini tentunya akan terus berubah mengikuti irama pasar. Sistem dunia yang
didukung sepenuhnya negara-negara di dunia pertama, sehingga mereka memainkan
peran setrategis setiap pengambilan kebijakan mengenai aturan-aturan
internasional melalui lembaga-lembaga tertentu. Sebagai contoh adalah adanya
ISO (international Standart Organisation) yang menjadi salah satu aturan
internasional dalam perdaganan barang lintas negara. Cara pandang penetapan
aturan dengan mengunakan cara pandang barat, yang sudah barang tentu berbeda
dengan cara pandang, kondisi dan potensi yang dimiliki oleh negara-negara di
dunia ketiga. Aturan seperti ini sudah barang tentu akan mengalalahkan daya
saing negara-negara ketiga, karena aturan ISO memiliki kecenderungan untuk
menghadapkan pada hokum besi mekanisme pasar.
Mekanisme pasar sejauh
membuka kesempatan kepada semua pihak untuk berinteraksi secara setara dapat di
terima. Tetapi dalam sistem neoliberal seperti yang sekarang kita temui ini,
dijumpai sebuah kondisi dimana prinsip kesetaraan tidak ada, atau terjadi
interaksi yang asimetris. Prinsip perdagangan bebas yang dipandu dengan sistem
monetarisme hampir-hampir tidak menyisakan ruang bagi ekonomi kecil untuk
survive. Para pemilik modal besarlah yang memiliki kesempatan emas untuk
bermain dalam sistem ini.
Keterlibatan Indonesia dalam
perdagangan bebas dengan diresmikannya AFTA, tetapi jika di analisis lebih
dalam Indonesia tidak akan dapat berbuat banyak dihadapan modal-modal asing
raksasa. Kita dapat membayangkan bagaimana seandainya sektor-sektor ekonomi
yang menguasai hajat hidup orang banyak akan di kuasai oleh segelintir individu
yang dengan laluasa akan dapat memainkannya untuk kepentingan pribadinya.
Negara yang seharusnya mengabdi demi hajad hidup orang banyak telah di pereteli
kekuasaanya oleh pasar, sehingga tidak lebih hanya akan bertindak sebagai agen
pasar berhada[an dengan masyarakat sendiri.
Dengan agenda payung
privatisasi misalnya kita telah dan akan melihat bagaimana banyak BUMN di
privatisasi demi memenuhi budget pemerintah yang telah mengalami defisit. Yang
menarik adalah privatisasi itu terjadi atas desakan IMF yang merupakan
kepanjangan tangan negara-negara core dalam moneter dunia. Ini secara gamblang
menjelaskan bagaimana pemerintah (baca: negara) tidak berdaya di hadapan sistem
pasar yang telah mapan (neoliberalisme).
Yang sangat ironis, ditengah
kencangnya gerak maju neoliberalisme justru tidak ada struktur lokal yang mampu
menghadapinya. Struktur lokal telah terfragmentasi sedemikian rupa sehinga
neoliberalisme dapat menjebol benteng Indonesia tanpa perlawanan sama sekali.
Dalam hubungan antar negara bangsa, pemerintah dan rakyat yang sama sekali
tidak saling terkait kita menyaksikan bahwa Indonesia telah benar-benar
terkunci dalam gerak sejarah. Jika hari ini adalah lima puluh tahun yang silam
dan kita telah memiliki keawasan seperti hari ini, niscaya kita akan memilih
Mao Tse Tung atau Tan Malaka yang memilih kemerdekaan sepenuh-penuhnya, bukan
negociated independence seperti yang kita alami. Seandainya kita memiliki
kesempatan untuk berbenah diri ke dalam tanpa harus mengintegrasikan diri dalam
interaksi global yang asimetris ini, maka politik isolasi mungkin adalah pilihannya.
Resikonya adalah seperti apa yang telah di alami Cina (RRC), selama beberapa
dekade sibuk berbenah diri melakukan reformasi struktur internal dan kemudian
dalam hitungan dekade kelima telah mampu bersaing dengan hegemon dunia. Tentu
Cina memiliki kekhasan yang tidak bisa disamakan dengan Indonesia, tetapi
paling tidak ia merupakan gambaran bahwa there in (an) Alternative (TIA) selain
blue-print AS yang harus di ikuti oleh negara pery-pery.
Konsolidasi politik
negara-negara Eropa dan Amerika yang banyak menganut demokrasi liberal pasca
perang dunia ke-2, untuk menciptakan format baru penjajahan dari kolonialisme
dan imperalisme lama. Konsolidasi yang menghasilkan adanya pertukaran politik
global sehingga memunculkan imperium global yag diikuti dengan perkembangan
diplomasi multerateral dan regulasi internasional dan pembentukan
instritusi-institusi politik global, seperti PBB dan institusi regional seperti
Uni Eropa, NAFTA dan lain-lain. Institusi politik internasional inilah yang
akan menciptakan aturan main percaturan politik global berskala internasional
khususnya yang menyangkut isu-isu perdagangan, perang dan perdamaian.
Perkembangan politik internasional yang ditopang dengan aturan internasional
tersebut akan menghilangkan sekat-sekat batas negara sehingga akan memunculkan
rezim internasional yang mempunyai pengaruh cukup signifikan dan memiliki
otoritas untuk menentukan masa depan negara-negara yang lain. Perkembangan
internasionalisasi dan transnasional politik yang mempunyai kecenderungan hilangnya
peran negara atas warganya, dan kecenderungan untuk membangun satu pemerintahan
rezim global yang berlapis dengan kekuasaan mayanya, tetapi mampu mengerakkan
struktur sosial dan politik dari sebuah negara. Konsekwensi dari politik
transnasional ini adalah miunculnya hukum-hukum internasional yang
kosmopolitan.
Posisi Indonesia yang
merupakan bagian dari dunia, tidak akan mungkin lagi terhindar dari proses
internasionalisasi politik tersebut apalagi dengan kondisi geo-geografis
Indonesia yang strategis. Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya
menjadi bagian kecil dalam pentas dunia. Pemerintah Indonesia dan negara-negara
ketiga lainnya akan semakin kehilangan kontrol atas arus informasi, teknologi,
penyakit, migrasi, senjata, dan transaksi finansial baik legal maupun ilegal
yang melintasi batas-batas wilayahnya. Aktor non-negara, mulai dari kalangan
bisnis hingga organisasi-organisasi non-profit akan semakin memainkan peranan
penting dalam lingkup nasional maupun internasional. Kualitas pemerintahan
nasional dan internasional akan ditentukan oleh tingkat keberhasilan negara dan
masyarakat dalam mengatasi kekuatan-kekuatan global di atas.
Oleh karena itu, kita perlu
melihat Indonesia dalam gambar dan ruang lebih besar lagi yaitu dunia. Dengan
melihat Indonesia sebagai bagian dari sebuah sistem dunia yang sedang berjalan,
kita dapat mengenali relasi apa yang sedang terjadi dalam sebuah peristiwa.
Dengan mengenali relasinya kita dapat melihat pola-pola yang di gunakan oleh
sistem tersebut untuk beroperasi, katakanlah kita perlu melihat dengan
perspektif sistem dunia ini, lalu bagaimana kita menghubungkan
perubahan-perubahan internal Indonesia dengan sistem dunia ini ?
Adalah Emanuel Wellerstain
dan teman-temannya di Fernan Broudell Center Binghamton University yang mencoba
memperkenalkan perspektif sistem dunia ini sebagai alat baca. Dalam pandangan
para world sistemizer dunia ini terbagi ke dalam tiga wilayah kerja
(internasional divisiopn of labour) yaitu
- Core, terdiri dari negara yang memiliki proses-proses produksi yang cangih, didaerah ini borjuis indigenous memiliki industri otonom yang memproduksi komoditas manufaktur untuk pasar dunia. Pola-pola kontrol buruh yang dominan adalah wage labour dan self-employment, negara-negara core biasanya dengan strong state machinesries. Negara core pada umumnya Northwest Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Australia.
- Periferi, terdiri dari negara-negara yang memiliki proses produksi yang sederhana. Biasanya produk-produk negara periferi ikut menyumbang proses akumulasi kapital dinegara-negara core karena dagang memerlukan pertukaran-pertukaran yang tidak seimbang. Kontrol buruh juga dijalankan dengan kekerasan, dengan struktur negara yang lemah. Negara periferi menurut Wallerstain’s tidak cukup kuat untuk mengintervensi lajunya komoditas, kapital dan buruh antar zona ini denfgan zona yang lainnya dalam system dunia. Tetapi cukup kuat untuk memfasilitasi flows yang sama.
- Semi Periferi, mempunyai kompleksitas kegiatan ekonomi, modus kontrol buruh, mesin negara yang kuat dan sebagainya. Fungsi politik periferi adalah sebagai buffer zone antara dua kekuatan yang saling berlawanan. Secara historis, semi periferi terdiri dari negara-negara yang sedang naik atau turun dalam system dunia.
POLA HISTORIS GLOBALISASI
POLITIK
Pra-Awal Modern
(Abad 14 –18)
|
Modern
(Abad 19 – 20)
|
Kontemporer
(1945 - )
|
|
Ekstensits
|
Sebagian besar bersifat intra-teritorial dan
intra-regional tetapi juga memulai ekspansi imperial.
|
Emperium global; Muncul sistem negara bangsa
|
Sistem negara global; Muncul tataan politik
global; Regionalisasi politik dan inter-regionalisme
|
Intensitas
|
Volumenya rendah, tetapi melonjak ketika
para kompetitor politik atau ekonomi bertemu dan berbenturan
|
Volumenya meningkat dan terjadi ekspansi
hubungan
|
Terjadi peningkatan drastis pada
kesepakatan-kesepakatan internasional, jaringan dan berbagai hubungan formal
maupun informal.
|
Percepatan
|
Terbatas; Sporadis
|
Meningkat
|
Terjadi percepatan pada interaksi politik
global seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi.
|
Pengaruh
(negatif)
|
Sedikit; tetapi terkonsentrasi
|
Meningkatnya konsekuensi-konsekuensi
institusional dan struktural
|
Tinggi: saling terkait, sensitif dan rentan.
|
Infrastruktur
|
Minimal; kerangka kerja amultilateral
bergerak sangat lamban, mulai dari traktat hingga konferensi organisasi
|
Munculnya Organisasi dan rejim-rejim
internasional maupun transnasional.
|
Perubahan besar baik pada ukuran, bentuk,
jumlah rejim, organisasi internasional dan transnasinal serta mekanisme
hukum.
Komunikasi global “realtime” dan
infrastruktur media.
|
Institusionali-sasi
|
Minimal, tetapi mulai ada diplomasi dan
regularisasi jaringan kerja antar negara.
|
Perkembangan rejim-rejim,
peraturan-peraturan dan hukum internasional bersifat tentatif tetapi rentan.
|
Ditandai dengan pengembangan rejim, hukum
internasional, dasar-dasar hukum kosmopolitan serta struktur organisasi antar
pemerintah maupun organisasi transnasional (swasta).
|
Stratifikasi
|
Perkembangan tatanan dunia yang Eropa
sentris.
Organisasi politik lemah, tersebar dan tidak
merata melintasi batas teritotial.
|
Hirarki kekuatan politik, militer dan
ekonomi terkonsentrasi di Barat/Utara.
Kapabilitas politik dikembangkan, tetapi
hubungan yang tidak seimbang (asimetris) tetap dipertahankan.
|
Dari Dunia yang Bipolar (perang dingin) ke
Multipolar.
Kesenjangan Utara dan Selatan mulai dikikis
seiring dengan munculnya NICs (Negara Industri Baru) dan aktor-aktor
non-negara.
|
Pola
Interaksi
|
Persaingan; perang-perang terbatas;
Konfliktual/Koersif; Imperialis.
|
Teritorial; Diplomatik; Geopolitik/Koersif;
Imperialis; Konflik dan Kompetisi; Pembentukan ke arah “total war”
|
Deteritorialisasi dan reteritorialisasi.
“Reason
of State” diupayakan dalam kerangka hubungan kerjasama (kooperatif) dan
kolaboratif.;Kerjasama dan Persaingan;Geo-ekonomik
dan End of empire
|
Sumber : Derrived from Global
Transformations; Politic, Economic and Culture, David Held and Anthony McGrew,
David Goldblatt and Jonathan Perraton, Polity Press, UK, 1999.
Proses pergeseran tatanan
politik dunia baru sebagaimana yang tersebut di atas, akan menopang struktur
ekonomi global, dengan menyiapkan infrastruktur aliran dan lalu lintas modal
baik langsung maupun tidak langsung. Aturan main internasional sebagai hasil
dari kebijakan lembaga-lembaga politik dan ekonomi internasional seperti, PBB,
IMF, world Bank, WTO dll, juga akan mempengaruhi Indonesia untuk tetap bisa survive
didalamnya. Pertumbuhan negara, kemampuan negara meningkatkan pendapatan,
mengatasi kemiskinan dan menguranggi pengangguran akan sangat tergantung
kondisi dan tatanan ekonomi internasional. Tak terkecuali adalah lalu lintas
modal dalam negara, karena kesemuannya dikemas dalam hukum kosmopolitan yang
namanya mekanisme pasar, yang menghadapkan individu , negara dengan pasar.
Perekonomian global akan sangat ditentukan juga oleh negara-negara adi kuasa
yang secara kemampuan memiliki kelebihan-kelebihan struktur ekonomi, seperti
Cina, AS, Inggris, Swedia, kanada dll. Kemampuan untuk mengsuplay
kebutuhan-kebutuhan negara di dunia, akan memunculkan pemenang-pemenang
ekonomi, karena hegemoni ekonomi global akan menentukan gaya hidup borjuis,
hiperbalis dengan tingkat konsumerisme yang tinggi di masyarakat, sehingga akan
mengakibatkan tingkat ketergantungan penduduk dan negara di dunia ketiga akan
semakin tinggi terhadap negara-negara suplayer, tak terkecuali Indonesia. Hal
ini akan semakin membuat keberadaan kemiskinan yang meningkat di negara-negara
dunia ketiga dan kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi.
Membangun Paradigma Gerakan
Membangun paradigma gerakan
memang sesulit membaca kenyataan yang semestinya menjadi pijakan paradigma itu.
Gerakan yang dibangun tidak diatas landasan kenyataan hanya akan menjadi
struktur apalagi peradaban. Paradigma yang baik adalah paradigma yang mampu
menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan dengan kenyataan hari
ini. Kenapa sejarah menjadi penting dalam penyusunan paradigma gerakan?
Sebagaimana diketahui bahwa sejarah itu menyimpan masa lalu yang telah menyusun
masa kini dan masa depan. Jadi, dengan mengkombinasikan sejarah dengan
real-life hari ini, kita akan mampu membaca kenyataan secara benar sehingga
kita tidak akan terjebak dalam kenyataan mediatik yang manipulatif dan
menyesatkan.
Dengan selalu berangkat dari
kenyataan real, kita akan mampu menangkap struktur apa yang saat ini sedang
bergerak dan gerakan yang kita jalankan akan mampu memutus roda-gila
(free-wheel) peradaban yang hegemonik. Selama ini, nalar mainstrem yang
digunakan dalam penyusunan paradigma di PMII adalah nalar yang berangkat dari
asumsi yang belum tentu terkait dengan kenyataan yang sehari-hari terjadi.
Jadi, konsep ideal (logos) itu dianggap lebih penting dan ideal dari pada
kenyataan.
- Belajar Dari Sejarah Gerakan Mahasiswa
Realitas politik memang
mengatakan independensi perguruan tinggi yang notabene adalah basis pendidikan
nasional, sehingga banyak harapan akan adanya pemikiran-pemikiran baru tentang
ke-Indonesiaan yang dihasilkan dari institusi ini. Selain civitas akademika
yang merepresentasikan kelompok intelektual, mahasiswa juga diharapkan mampu
memberikan gagasan dan ide-ide ke-Indonesiaan, dengan beragam aktualisasi.
Selain sebagai kelompok intelektual, ternyata dinamika perpolitikan negara juga
cukup signifikan untuk mengerakkan mahasiswa menjadi satu kekuatan gerakan
ekstra parlementer sebagai salah satu pilihan aktualisasinya. Melalui peran
ini, mahasiswa tentunya ingin mengartikulasikan kepentingan-kepentingan dan
aspirasi politiknya untuk mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan di
tingkat nasional, yang kesemuanya itu dibingkai dalam kerangka menyuarakan
kepentingan-kepentingan rakyat dan atas nama demokrasi, yang mencoba untuk
berbareng bergerak bersama rakyat, sehingga akan menjadi satu gerakan people
power yang masiff dan progresif.
Cita-cita luhur para
mahasiswa Indonesia, ternyata hanya menjadi utopi, karena gerakan mahasiswa
Indonesia hanya menjadi alat dari kelompok-kelompok kepentingan yang
mengatasnamakan rakyat. Hal ini tentunya didasari pada beberapa fakta dari
proses sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Pertama, gerakan
mahasiswa tahun 1945-1966, mahasiswa bangkit karena melihat kondisi negara yang
sedang mengalami kegoncangan sistem politik nasional yang selalu mengalami
perubahan bentuk pemerintahan, mulai dari RIS, Demokrasi Terpimpin dan kembali
lagi ke Republik, yang disebabkan oleh lemahnya posisi negara atas rakyatnya.
Sebagaiman ditulis Fachri Aly “Kondisi ini diperlihatkan dengan gejala
kemiskinan massal di perkotaan ataupun di daerah pedesaan, hancurnya sarana dan
prasarana ekonomi sehingga menyebabkan kehancuran ekonomi dan tingginya tingkat
utang serta rusaknya atau tidak berfungsinya prasarana dan sarana transportasi,
komunikasi dan modernisasi”(Fachry Ali : 1985).
Kekuatan mahasiswa memang
mampu mengulingkan kekuasaan Presiden Soekarno tahun 1966, tapi perlu diingat
bahwa kekuatan mahasiswa tidak muncul dengan sendirinya, Badan Kerja Sama
Pemuda Militer yang terbentuk tahun 1957, adalah bentuk infiltrasi politik
ABRI, yang waktu itu itu mulai menunjukkan sifat kohesinya yang kuat dalam
kehidupan politik, sebagai respon atas pertentangan ideologi, sehingga melirik
mahasiswa sebagai kelompok independen untuk menjadi mitra. Hasil perjuangan
mahasiswa telah mampu menaikkan Jenderal Soeharto untuk menduduki kursi RI-1,
justru mahasiswa yang kritis atas situasi perpolitikan negara harus berhadapan
dengan strategi de-politisasi oleh pemerintah berkuasa, karena Presiden
Soeharto lebih tertarik untuk berkoalisi dengan intelektual dan tekhnokrat
murni yang selama ini tidak pernah concern dengan persoalan politik.
Kedua, gerakan mahasiswa tahun
1974/1975, juga sempat terprofokasi oleh isu-isu anti Jepang sehingga pada
tanggal 15 Januari 1975 yang kemudian di kenal dengan Malari, terjadi
pembakaran produk-produk Jepang di Indonesia, padahal ini tidak lebih akibat
dari pertarungan untuk memperebutkan pasar antara AS dan Jepang. Gerakan yang
kemudian dijawab oleh pemerintah dengan dikeluarkannya NKK/BKK (Normalisasi
Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Ketiga, gerakan
Mahasiswa tahun 1998-pun tidak jauh beda. Mahasiswa terprovokasi oleh isu-isu
yang di buat oleh pihak luar, meskipun gelombang aksi terjadi di seluruh
penjuru Indonesia, tetapi yang lebih signifikan untuk mendorong pemerintah
Soeharto mundur adalah fluktuatifnya kurs rupiah atas dollar AS dan berhentinya
pasar modal dalam negeri, sebagai respon atas kekuasaan Soeharto berlebihan
yang hanya berorientasi membangun istana ekonomi keluarga dan kroni, sehingga
menutup peluang investasi pengusaha-pengusaha asing khususnya AS dan mengamcam
kepentinagn internasional AS. Situasi pemerintahan yang seperti ini, sehingga
memunculkan isu-isu populis yang kemudian terkenal dengan 6 visi reformasi
(Adili Soeharto, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Hapus KKN, Tegakkan Supremasi Hukum,
Otonomi Daerah dan Amandemen UUD`1945) yang entah dari mana datangnya, namun
tiba-tiba mengema dan menjadi simbul perlawanan yang disuarakan oleh mahasiswa
di seluruh Indonesia. Momentum gerakan mahasiswa yang kemudian dimanfaatkan
oleh elit tertentu. ”Gerakan reformasi ini telah dimanipulasi para elit
politik, baik elit politik yang lama maupun yang baru, yang masih berambisi
meraih kekuasaan bagi diri dan kelompoknya dengan cara saling kompromi
diantaranya lewat pemilu yang dilaksanakan tahun 1999” (Meluruskan Arah
Perjuangan Reformasi Dan Merajut kembali Merah-Putih Yang Terkoyak : Iluni UI).
Akankah kita para mahasiswa sekarang kembali akan menjadi alat dan terprovokasi
dengan isu-isu populis tertentu yang ternyata hanya menguntungkan kelompok
tertentu dan jauh dari kepentingan riil masyarakat ?
Gerakan
Moral Mahasiswa
Terlepas dari sejarah
panjang perjalanan gerakan mahasiswa di Indonesia, kekuatan mahasiswa hanya
mampu menjadi kelompok preasure group yang ternyata di dorong oleh
kepentingan kelompok tertentu. Pada sisi lain mahasiswa tidak mampu memberikan
satu rumusan konseptual dan solusi atas berbagai problematika transisi.
Kegagalan-kegagalan yang tetap harus kita akui sebagai bentuk kelemahan kita
bersama, yang salah satunya disebabkan keterjebakan kita dalam stigma gerakan
mahasiswa sebagai gerakan moral.
Sejarah panjang mengenai
peran gerakan mahasiswa di Indonesia, memang telah mengoreskan tinta sejarah
dengan menyebut gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral. Hal ini tentunya
dilatar belakangi dengan keberhasilan gerakan mahasiswa menumbangkan rezim
Soekarno tahun 1966, Soeharto tahun 1998 dan Gus Dur tahun 2001, yang konon
katanya digerakkan oleh berhentainya proses demokratisasi, penegakan HAM, tidak
berjalannya supremasi sipil dan supremasi hukum serta lain-lainnya. Latar
belakang inilah yang kemudian cukup signifikan mempengaruhi kemunculan stigma
gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral yang katanya akan selalu menyuarakan
kepentingan rakyat banyak dengan idiom-idiom demokrasi, HAM, supremasi sipil
dan lain-lain.
Meminjam istilah Ben
Anderson dalam bukunya Revolusi Pemuda, mengenai peran pemuda yang sangat besar
dalam menentukan masa depan sebuah bangsa. Dimana dalam peran ini mahasiswa
menjadi bagian didalamnya. Selain itu adanya pepatah Arab yang berbunyi “Syubhanul
yaum rijaalul ghoddi (Pemuda Sekarang Adalah pemimpin masa depan)”. Kedua
hal tersebut di atas paling tidak menjadi landasan epistimologi yang akan
semakin menguatkan stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral, sebagaimana
kuatnya memori kolektif masyarakat yang menyebut bahwa pemuda Indonesia pada
tahun 1908 telah mempunyai andil yang cukup besar terhadap bangsa Indonesia
dengan keberahasilannya melaksanakan sumpah pemuda, dimana masyarakat tidak
pernah paham mengenai kenyataan empiris tentang kondisi dan situasi
sosial-politik dan ekonomi dalam negeri serta tren politik global pada waktu
itu.
Budiaman Sudjatmiko pada
tahun 2000 dalam tulisannya Demoralisasi Gerakan Mahasiswa menyebutkan bahwa
yang disebut dengan demoralisasi gerakan mahasiswa diartikannya dengan surutnya
atau tidak adanya kekompakkan berbagai elemen gerakan mahasiswa pada waktu itu
dalam merespon isu-isu yang berkembang saat itu, yang menarik pengertian dari
pemengalan kata demoralisasi, dengan mengartikan bahwa de- yang artinya
tidak atau mengecil dan moral yang diartikan respon mahasiswa yang
mengunakan idiom-idiom demokratisasi, HAM, supremasi hukum dan lain-lain.
Gerakan mahasiswa tidak
pernah mengunakan gerakan moral sebagai pilihan bentuk aktualisasinya, tetapi
yang dilakukannya adalah gerakan politik. Hal ini dilatar belakangi oleh
beberapa alasan, pertama, gerakan mahasiswa dalam orientasinya yang
ingin melakukan perubahan, selalu mengunakan ukuran perubahan struktur atau
lebih spesifik perubahan kebijakan sebagai ukuran keberhasilannya. Fenomena
tentang perubahan struktur atau perubahan kebijakan yang terjadi di Indonesia
selalu dihasilkan dari proses gerakan politik bukan gerakan moral. Kedua,
stigma gerakan moral tidak lain adalah bentuk justifikasi dari kebenaran
akademis yang kelahirannya dilatar belakangi karena independensi perguruan
tinggi, yang berimplikasi pada cara pandang bahwa gerakan mahasiswa adalah
gerakan yang masih murni dan independen yang sangat jauh dari kepentingan
pragmatis dan kepentingan politik tertentu. Padahal realitas empiriknya gerakan
mahasiswa banyak mendapatkan donor dari partai politik, pemerintah, founding
internasional dan lain-lain. Ketiga, gerakan mahasiswa yang mengklaim
dirinya menyuarakan aspirasi rakyat dengan mengunakan idiom demokrasi, HAM,
supremasi sipil, supremasi hukum dan yang lainnya, telah menjadikan idiom-idiom
tersebut sebagai standar moral gerakan. Standar moral yang cenderung dikotomis
karena pada realitasnya, moral kemudian kemudian menjadi alat untuk mengukuhkan
eksistensi gerakan mahasiswa dan menyerang lawan (baca : negara) yang pada sisi
lain negara yang dalam perwujudannya sebagai bentuk dari konsep trias politika
(eksekuti, legeslatif dan yudikatif) juga mengunakan idiom yang sama dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, tetapi kemudian mengapa gerakan structural negara
dalam kontes yang sama tidak disebut sebagai gerakan moral tetapi lebih
cenderung disebut gerakan politik yang identik dengan relasi kuasa. Keempat,
moral dalam gerakan mahasiswa sebenarnya hanya menyetuh pada aspek
psikologi, emosional dan romantisme, bukan moral yang menjadi élan dan subtansi
dari gerakan, karena kebangkitan gerakan mahasiswa lebih signifikan dipengaruhi
faktror eksternal yang lebih massif. Contohnya adalah terbentuknya Badan Kerja
Sama Pemuda-Militer (BKSPM) yang terbentuk tahun 1957, adalah bentuk infiltrasi
politik ABRI. dan gerakan mahasiswa tahun 1974/1975 yang melakukan pembakaran
produk-produk Jepang di Indonesia, yang terkenal dengan Malari, sebenarnya
hanyalah akibat dari pertarungan antara AS dan Jepang untuk memperebutkan pasar
di Indonesia.
Untuk itu, refleksi bersama atas
internal gerakan mahasiswa yang katanya sebagai tulang punggung masa depan
bangsa harus segera mungkin dilakukan. Keberadaan moral dalam gerakan mahasiswa
tidak lain adalah bentuk pelarian dari individu seorang mahasiswa yang tidak
mampu membebaskan diri dari belenggu moral dalam konteks pribadi, yang kemudian
membawanya dalam komunitas gerakan mahasiswa. Tidak bebasnya belenggu disini
meliputi, Pertama, belenggu moral dalam prespektif teologis yang
mengikat relasi manusia dengan Tuhan dalam menjalankan hukum agama dan
kewajiban sebagai seorang hamba-Nya dimana terdapat penilaian atas perilaku
individu yang kemudian disebut dengan dosa atau tidak dosa dan halal atau
haram. Kedua, belenggu dalam perspektif norma yang mengikat hubungan
antar individu dan masyarakat, dimana terdapat penilaian masyarakat terhadap
perilaku individu yang kemudian disebut bermoral atau amoral karena perilakunya
yang keluar dari batasan-batasan norma, etika dan adat yang berlaku di masyarakat.
Dari penjelasan di atas,
maka moral sebenarnya adalah system nilai yang berlaku universal bagi individu
bukan komunitas (baca gerakan) dan menjadi alat mekanisme kontrol atas perilaku
individu dalam menjalankan kehidupannya bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
- Belajar Dari Sejarah PMII
Sebagai sebuah organisasi
yang telah berusia hampir setengah abad, semestinya PMII telah mencapai periode
kamatangan, sejak didirikan pada 17 April 1960 sebagai bagian integral dari
organisasi NU, PMII memang berfungsi sebagai sayap mahsiswa NU di samping GP
Ansor di sayap pemuda, Muslimat di sayap ibu-ibu, Fatayat di sayap remaja putri
dan IPNU/IPPNU di sayap pelajar serta Banom-Banom lain, maka komitmen PMII
kapada jam`iyah NU adalah suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Maka
keterlibatan PMII di masa-masa awal berdirinya sebagai penyokong Partai NU
adalah sebuah keharusan.
Pada tahun 1974 ketika NU
telah melakukan fusi politik dengan partai-partai Islam lain, dalam PPP, maka
deklarasi independensi di Munarjati Malang juga merupakan pilihan sejarah yang
sangat penting. Dengan tegas PMII menyatakan independen dari NU karena PMII
memang harus menegaskan visinya bukan sebagai bagian partai politik.
Demikian pula, deklarasi
interdependensi pada dekade 1980-an, yang kembali menegaskan ke saling
tergantungan antara PMII-NU adalah bukti bahwa PMII tidak akan dapat
meninggalkan komitmennya terhadap jam`iyah NU. Pilihan-pilihan
dependensi-independensi-interdependensi ini sebenarnya tidak perlu terlalu
dipermasalahkan. Perdebatan-perdebatan selama tiga dekade awal PMII tampaknya
hanya berkisar di sekitar pilihan-pilihan ini belaka. Ini berakibat pada
terbengkalainya rancangan-rancangan kedepan yang berada di luar batas-batas NU.
Ini tentunya kontra produktif terhadap PMII sebagai sebuah gerakan yang
mengandaikan adanya perubahan sistem dan struktur dalam jangka panjang, karena
tidak akan perubahan dapat bergerak keluar dari batas-batas kulturalnya. Ini
yang kemudian disebut sebagai jebakan primodialisme dalam gerakan, karena PMII
tidak akan dapat pernah berperan sebagai agen transformasi kedalam NU yang
nyata-nyata adalah komunitas dari mana ia lahir, alih-alih menjadi bagian dari
kemapanan NU yang membekukan.
Dengan demikian komitmen
PMII terhadap NU adalah komitmen yang mengambil bentuknya dalam clas of strugle
yang akan mengawal visi dan misi NU kedepan disamping transformasi internal
tersebut. Perdebatan yang lebih produktif baru muncul dekade 1990-an seiring
dengan semakin luasnya pengaruh pemikiran Gus Dur di kalangan muda NU, terutama
PMII. Figuritas Gus Dur sebagai tokoh demokrasi dan pengusung civil society
yang kritikal terhadap pemerintahan rezim Soeharto sangat berpengaruh dalam
pembentukan pola fikir aktifis-aktifis PMII.
Yang perlu di catat adalah
bahwa secara paradigmatik kepengurusan sahabat A. Muhaimin Iskandar pernah
mensosialisasikan ( paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran ) yang
implikasinya sangat luas terhadap pola gerakan PMII hampir diseluruh Indonesia.
Dipandu oleh gagasan free market of ideas periode ini menyaksikan sebuah
massive enlightenment di tubuh PMII. Selama setidak-tidaknya, paruh kedua
dekade 1990-an PMII dengan gigih memperjuangkan demokrasi dan civil society
sebagai nilai-nilai pembebasan. Dari masa inilah muncul optimisme baru tentang
gairah gerakan di PMII.
Selama ini, kepengurusan di
PMII dan organisasi-organisasi mahasiswa ekstra lainnya semisal HMI, IMM,
PMKRI, GMNI dan GMKI adalah sebagai batu loncatan untuk menduduki kursi-kursi
di KNPI yang didukung oleh pemerintah. Nyata-nyatanya hanya
organisasi-organisasi pro pemerintah yang pada akhirnya mendapatkan kursi di
KNPI dan selanjutnya kursi di DPR/MPR RI. Organisasi-organisasi kritis tidak
akan mendapatkan tempat dalam kultur politik orde baru yang sangat nepotis.
Artinya, antrian menuju kursi kekuasaan tidak akan pernah sampai kecuali dengan
melalui setrategi lain yang berada di luar mainstream. Dan PMII melakukan itu
tak kala HMI menjadi rival utamanya selama ini justru sedang bermesraan dengan
rezim orde baru melalui politik ijo royo-royo dimana lebih dari 300 orang anggota
MPR RI adalah alumni HMI.
Akhirnya, PMII bersama
organ-organ mahasiswa forum Cipayung minus HMI mendirikan sebuah forum bernama
Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) sebagai bentuk keprihatinan atas
mentalnya politik aliran di Indonesia yang ditandai dengan semakin massifnya
kelompok-kelompok yang tergabung di dalam ICMI, mengusung bendera representasi
Islam yang mayoritas di dalam kekuasaaan. Dengan dukungan pemerintah Soeharto,
ICMI melakukan ekspansi ke berbagai lini dengan mengusung isu-isu Islamisasi,
baik di sektor ekonomi dengan mendirikan Bank Muamalat, di media dengan
mendirikan Republika yang diasumsikan sebagai koran Islam, maupun di permodalan
dengan mendirikan BPR-BPR syariah. Disektor ekonomi, isu yang diusung adalah
kemandirian ekonomi umat dan anti cina, sebagai kelompok yang dianggap
menghancurkan ekonomi Indonesia.
Klimaks dari resistensi
terhadap pemerintahan rezim oede baru adalah gerakan mahasiswa di penghujung
dekade 1990-an dimana PMII berdiri di barisan paling depan dalam menghancurkan
rezim orde baru, sebagaimana NU juga berdiri di barisan paling depan dalam
menganyang PKI pada paruh ke-dua tahun 1960-an.
Paradigma arus balik
masyarakat pingiran yang di pandu oleh gagasan free market of ideas
tersebut berhasil menciptakan kader-kader PMII yang kritis dan memiliki
militansi gerakan yang memadai dan sikap yang terbuka. Keterbukaan itu ditandai
dengan luasnya pergaulan aktifis-aktifis PMII dengan kelompok-kelompok
minoritas yang selama ini selalu terkucilkan. Dengan bekal pemahaman teologis
yang inklusif para kader mampu melampaui sekat-sekat agama yang selama ini di
pelihara demi kelanggengan kekuasaan. Hampir di semua level, komunikasi
(baca : silaturahmi) kader-kader PMII dengan kalangan katolik, misalnya
berjalan dengan natural dan tidak di buat-buat. Sampai sekarang pergaulan
lintas agama ini telah jauh melampaui gagasan dialog agama atau konsep
masyarakat multi kultur yang didukung kuat oleh funding agency. Jika
orang-orang masih ramai berbicara tentang teologi inklusif melalui dialog-dialog
formal, maka kader-kader PMII telah jauh berinteraksi dan secara timbal balik
meresap di dalam keberagamaan itu sendiri. Singkatnya, don`t teach me how to
act inclusively since i`m coming from such a society !
Namun, diluar keberhasilan
paradigma arus balik FMN ( forum mahasiswa nahdliyin ) tersebut, selalu ada
yang terasa belum selesai dibangun di PMII, indikasi yang paling jelas adalah
ketika KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI yang ke-4 pada
november 1999. Secara serta merta para aktifis PMII ( dan NU dan juga
aktifis-aktifis civil society pada umumnya) mengalami kebingungan apakah
perjuangan civil society harus berakhir ketika Gus Dur yang selama ini menjadi
tokoh dan simbul perjuangan civil society di Indonesia telah naik ketampuk
kekuasan. Nampaknya sikap para kader PMII terbelah dua pada saat itu. Ada yang
menghendaki agar PMII tetap bergerak di jalur kultural dan ada pula yang
menghendaki agar PMII harus membela Gus Dur. Dari sinilah kemudian mulai muncul
dikotomi NU kultural dan NU struktural, yang secara otomatis juga terjadi di
PMII. PMII kultural dan PMII struktural, yang kedua-duanya tidak saling bertemu
dan cenderung saling menyalahkan. Sampai sekarang, dikotomi itu masih sedikit
terasa sekalipun telah kehilangan relevansinya semenjak Gus Dur di jatuhkan
oleh sebuah konspirasi politik maha tinggi.
Artinya paradigma arus balik
telah patah disini. Paradigma ini kemudian di ganti dengan paradigma
Kritis-Transformatif yang nalar penyusunannya tidak juah beda dengan nalar penyusunan
paradigma arus balik. Dengan kata lain, paradigma ini melanjutkan kagagapan
PMII dalam bersinggungan dengan kekuasan. Setidak-tidaknya ada tiga alasan
untuk menjelaskan patahnya ke dua paradigma ini. Pertama, keduanya di
desain hanya untuk melakukan resistensi terhadap otoritarianisme tanpa
kompleksitas aktor di level nasional yang selalu terkait dengan perubahan di
tingkat global dan siklus politik-ekonomi yang terjadi. Sebagai contoh maraknya
LSM pro demokrasi dan gencarnya isu anti militerisme pada dekade 1990-an adalah
akibat dari runtuhnya Uni Soviet sebagai rival USA dalam kompetisi hegemoni
dunia.
Secara siklis dapat
dijelaskan sebagai berikut, Soeharto berhasil merebut tampuk kekuasaan dari
Presiden Soeharto pada tahun 1966 melalui supersemar dengan dukungan penuh dari
politik luar negeri AS yang sedang gencar-gencarnya melakukan containment
terhadap komunisme. Saat itu adalah sedang panas-panasnya persaingan antara
blok barat yang kapitalis dan blok timur yang komunis. Posisi Indonesia demikian
pentingnya pada waktu itu karena seandainya Indonesia jatuh ketangan komunisme
maka negara-negara yang berada disebelah utara Indonesia seperti Malaysia,
Thailand, Filipina dll secara otomatis akan jatuh. Maka, Indonesia harus di
bebaskan dari hantu komunisme ( le spectre de la communisme)
Dan Soeharto adalah seorang
jenderal tentara yang dapat menjalankan misi AS tersebut. Seiring dengan
berjalannya waktu, komunisme jatuh pada tahun 1989 dan ini berakibat pada
merosotnya dukungan AS kepada Soeharto. Dengan kata lain Soeharto harus di
jatuhkan. Dari saat inilah kemudian AS mulai mendorong demokratisasi di
Indonesia melalui Isu-isu HAM dan civil society, melalui berbagai LSM yang
danai melalui funding agency, pada sisi lain Soehartopun menjalin
kekuatan dengan kelompok-kelompok Islam yang justru selama ini di
marginalkannya. Puncaknya adalah berdirinya ICMI pada awal dekade 1990-an,
sebagai sayap politik baru Soeharto pasca hilangnya dukungan AS kepada pemerintahannya.
Dari sini, kemudian juga terjadi pembelahan, mereka yang bergerak dengan isu
HAM dan civil society melawan rezim otoriter Soeharto yang mulai didukung oleh
organisasi-organisasi Islam politik dibawah payung ICMI. Dan PMII terlibat di
sini di pihak pertama sebagai pengusung isu demokrasi dan civil society.
Sebenarnya, jika para aktor politik Indonesia tidak terjebak pada
peristiwa-peristiwa politik lokal dan mencoba sedikit melihat keluar, hampir di
pastikan Soeharto dapat di jatuhkan tanpa harus menunggu terlalu lama.
Kedua, kedua paradigma ini
hanya menjadi bunyi-bunyian yang tidak pernah secara real menjadi habitus atau
laku di PMII. Akibatnya, bentuk resistensi yang muncul adalah resisten tanpa
tujuan, yang penting melawan. Sehingga ketika perlawanan itu berhasil
menjatuhkan Soeharto terlepas ada aktor utama yang bermain, PMII dan
organ-organ pro demokrasi lainnya tidak tahu harus berbuat apa. Dari sini,
dapat di baca bahwa paradigma itu tidak disertai dengan semacam contingency
plan yang dapat menyelamatkan organisasi dalam situasi apapun.
Ketiga, pilihan paradigma
ini tidak didorong oleh setrategi (not strategy-driven paradigm)
sehingga paradigmanya di anggap sebagai suatu yang baku. Mustinya, ketika medan
pertempurannya telah berganti, maka strateginyapun harus berbeda. Ketika medan
pertempuran melawan otoritarianisme orde baru telah di kalahkan, PMII masih
berpikir normatif dengan mempertahankan nalar paradigma lama. Ini membuktikan
bahwa PMII tidak berpikir strategis.
Berangkat dari berbagai
pengalaman di atas, maka sudah saatnya kita berpikir relistis atas kondisi
bangsa kita saat ini. Membangun Indonesia yang benar-benar demokratis dengan
menyerahkan kedaulatan di tangan rakyat sebagaimana yang dicita-citakan oleh
para founding father kita dalam UUD`1945. Bagimanapun demokrasi adalah
gagasan yang paling mengairahkan yang kemunculannya sejak abad XX, sehingga
banyak negara-negara di belahan dunia berlomba untuk bisa mengkalin dirinya
sebagai negara yang demokratis. Kompleknya persoalan-persoalan bangsa kita,
mulai dari kemiskinan, beban hutang, KKN, ancaman disintegarsi, penegakan HAM,
dan lain-lain menjadi tantangan Indonesia yang harus segera diselesaikan.
Krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997, memang telah menghancurkan
struktur ekonomi dan politik kita. Namun sebagai manusia Indonesia memang kita
dilahirkan atas dasar naluri individual dan kebebasan, tapi tidak dilahirkan
dengan pengetahuan yang membuat struktur ekonomi dan politik menjadi kebebasan
yang akan dinikmati secara Cuma-Cuma, namun pilihan untuk berdemokrasi harus
menjadi implementatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga menjadi
ciri dalam berinteraksi antar warga negara. Sebagaimana disebut Karim Suryadi,
”Menata demokrasi belum cukup hanya dengan mendirikan kelembagaan demokrasi,
demokrasi yang sehat untuk sebagian besar bergantung pada pengembangan budaya
warga negara yang demokratis (democratic civic culture), budaya dalam
artian perilaku, praktek-praktek dan norma-norma yang mencerminkan kemampuan
rakyat untuk mengatur diri mereka sendiri, terlebih dalam hal menyikapi
konflik, melakukan kompromi dan konsensus”.(Karim Suryadi : 1999)
Untuk itu diperlukan yang
namanya pendidikan demokrasi kepada warga negara dan harusnya menjadi satu
perhatian mendasar bagi pemerintah dan partai politik sebagai infrastruktur
politik negara. Hal ini didasari pada kepentingan bersama yaitu, pengakuan dan
penghormatan atas hak asasi, harkat dan martabat individu diakui, penegakan
aturan hukum, menjalankan kewajiban bersama dan menempatkan kepentingan umum
menjadi kepedulian bersama. Untuk membangun satu struktur ekonomi dan politik
Indonesia kedepan yang akan mengerakkan berjalannya proses demokratisasi, kita
juga harus mempertimbangkan faktor-faktor eksternal lainnya.
Suatu persoalan kompleks
yang selama ini tidak pernah muncul dalam pikiran kita bersama. Sebagaimana
disebut Jacob Oetama,”ekonomi pasar dalam bentuknya yang liar justru berlawanan
dengan visi, orientasi dan nilai-nilai Indonesia, sangat besar bahkan sangat
menentukan peranan kepemimpinan dalam pemerintahan dan masyarakat, dalam
lembaga-lembaga pemrintah dan lembaga-lembaga kemasyarakatan termasuk lembaga
ekonomi masyarakat seperti usaha-usaha swasta” (Jacob Oetama : 2001). Berbagai
hal ini harusnya bisa diantisipasi sejak dulu jika pemerintah waktu itu tegas
melaksanakan pendekatan integralistik yang berbasiskan pada beragamnya entitas
etnik dalam konteks ke-Indonesiaan. Sebagai mana disebut Dr.Ir.H. Bunyamin
Ranto, SE, “secara sederhana, makna konsep integralistik dalam konteks
ke-Indonesiaan adalah sebuah konsep yang senantiasa mengacu kepada azas
keterpaduan yang dilandaskan pada prinsip-prinsip keserasian, keselarasan dan
keseimbangan” (Dr.Ir.H. Bunyamin Ranto, SE : 1995)
Selama ini, nalar penyusunan
gerakan di Indonesia setelah Tan Malaka lebih bersifat akademik. Artinya
diawali dengan berbagai konsep ideal tentang masyarakat atau negara yang
berasal dari barat. Konsep-konsep yang dipakai dikalangan akademis kita
semuanya berbau liberalisme, sehingga secara akademis tidak ada kemungkinan
untuk meloloskan diri dari arus liberalisme. Semenjak dari pikiran, gerakan itu
memang tidak akan pernah berhasil. Yang dibayang kan disini, setiap konsep itu
berlaku secara universal tanpa mempertimbangkan kenyataan yang menjadi setting
aplikasi konsep tersebut.
Contoh yang sering dikemukan
tentang tidak nyambungnya antara konsep ideal-barat dengan kenyataan Indonesia
adalah konsep-konsep politik-ekonomi yang dibawa oleh para elit politik dan
tokoh gerakan Indonesia semenjak kemerdekaan sampai sekarang ini. Apada
awal-awal kemerdekaan isu “revolusi” menjadi semacam isu tunggal, dengan asumsi
revolusi ala Mark yang mengandaikan adanya pertentangan kelas-kelas sosial.
Soekarno yang dengan gigih mengusung isu revolusi ini justru akhirnya gagal dan
terguling dengan kekuasaanya. Demikian pula dengan isu “ pembangunan” yang
diusung oleh rezim orde baru, yang diasumsikan bahwa setelah mengikuti beberapa
tahapan yang telah digariskan Indonesia akan dapat melakukan tinggal landas
menjadi negara industri maju.
Konsep-konsep revolusi dan
pembangunan yang di negeri asalnya berjalan dengan baik, justru tidak berjalan
di Indonesia. Apa yang salah ? Konsepnyakah yang memang mempunyai keterbatasan
kontekstual ataukah memang kondisinya yang salah sehingga konsep-konsep ideal
itu tidak dapat bersanding dengan kenyataan real yang setiap hari di jalani
oleh masyarakat.
Atau belum lama ini muncul
gagasan tentang ekonomi kerakyatan yang bertujuan untuk memandirikan masyarakat
Indonesia pribumi. Anehnya isu kemudian malah menjadi praksis bukan lagi
ekonomi karakyatannya, tetapi isu anti cina yang selama ini di anggap menjadi
biang kerok hancurnya ekonomi Indonesia. Isu ekonomi kerakyatan berubah menjadi
isu rasial yang sangat merugikan Indonesia karena etnik Cinalah yang secara
real memegang jalur-jalur distribusi ekonomi sampai level yang paling bawah.
Jika isu anti Cina yang di usung oleh beberapa gelintir elit pribumi yang
dikompromi oleh rezim hegemoni dunia tersebut menjadi kenyataan, maka yang
paling di rugikan adalah masyarakat Indonesia sendiri.
Dari sini, kita melihat
bahwa di kepala para elit kita sekalipun belum terbentuk satu cara pandang yang
memadai dalam membaca kenyataan Indonesia dan kemudian mencoba mengunakan hasil
bacaan tersebut sebagai pijakan untuk menjadikan Indonesia naik kelas.
Dengan kata lain persoalan
sulitnya membangun paradigma berbasis kenyataan di PMII itu pararel dengan
kesulitan membuat agenda nasional yang berangkat dari kenyataan Indonesia.
Sehingga, apabila PMII merintis sebuah paradigma semacam itu, sekalipun untuk sementara
akan tersisih dari pergaulan mainstream, maka suatu hari nanti sejarah akan
mencatat PMII sebagai gerakan sosial yang menjadi pelopor Indonesia baru yang
mbenar-benar merdeka.
Memang, saat ini orang
selalu berpikir Instan dan hanya mau melihat hasil tanpa mau melihat bagaimana
sebuah proses terjadi untuk mewujudkan utopia. Sehinga benturan pertama bagi
sebuah paradigma untuk berjalan adalah dampak jangka pendeknya, atau dengan
kata lain problem survaival menuntut kita untuk meningalkan pikiran-pikiran
panjang kita. Gerakan harus mampu berkayuh di antara gelombang panjang dan
gelombang pendek, agar gelombang panjang tetap terkejar dan gelombang pendek
tidak cukup kuat untuk menghancurkan biduk kita yang rapuh. Bagaimanapun untuk
membangun gerakan kita harus mendahulukan realitas ketimbang logos.
Paradigma Kritis sebagai Strategi Bergerak
Akhir abad XX dan awal abad
XXI ini telah menyaksikan maraknya gerakan anti globalisasi yang telah
mengharu-biru Seattle sampai Genoa dan sekarang mulai menyebar kenegara-negara
dunia ke tiga. Gerakan seperti ini akan mengalami kegagalan dalam situasi
seperti ini karena nalar anti globalisasi sama dengan nalar globalisasi. Tidak
ada ruang setrategi yang tersisa dengan gerakan yang demikian frontral.
Dinegara-negara maju gerakan semacam ini dimungkinkan karena di topang oleh
kesadaran setrategis yang mendalam, sementara di negara-negara peryphyery
seperti Indonesia gerakan ini berubah menjadi semacam gerakan konsorsium LSM
anti globalisasi yang mengajukan diri untuk mendapatkan kucuran dari funding
agency sebagai kepanjangan tangan langsung dari suatau pemerintah. Artinya
gerakan anti globalisasi di Indonesia menjadi lelucon bahan tertawaan di siang
hari.
Atau katakanlah gerakan itu
benar-benar didasari oleh suatu keyakinan bahwa globalisasi telah membunuh
ekonomi masyarakat kecil, tetapi karena gerakan itu tidak mempertaruhkan sebuah
skenario pasca perlawanan (skenario sukses) maka gerakan itu akan berubah
bentuk menjadi heroisme individu-individu belaka, yang justru dimanfaatkan oleh
para aktor politik untuk maraih keuntungan dari gerakan ini, lantas apakah
gerakan yang tepat adalah gerakan pro globalisasi atau reserve ?
Gerakan pro globalisasi
tanpa reserve berati menghanyutkan diri dalam arus globalisasi tanpa pengetahuan
yang cukup bagaimana harus menepi, karena sekali tersedot arus maka akan sulit
untuk kembali. Bentuknya yang paling kongkrit adalah menjadi agen
kepentingan-kepentingan global baik pada aras wacana maupun pada aras operasi
khusus mereka. Hanyut dalam arus neoliberalisme berati menjadikan uang sebagai
tanah air dan bangsa, karena ideologi pasar bebas tidak mengenal batas-batas
teretori negara-bangsa, yang dikenal adalah hambatan-hambatan tarif, proteksi,
subsidi, nasionalisasi. Itulah batas-batas negara-pasar (market-state).
Gerakan yang berangkat dari
kedua paradigma di atas, yaitu gerapan pro dan anti globalisasi akan mengalami
kegagalan karena tidak mempertaruhkan sesuatu yang lebih besar dari pada proyek
politik isu tunggal dan heroisme belaka. Atau gerakan ini memang tidak didesain
untuk melakukan perubahan sistem dalam jangka panjang. Karena nalarnya yang
mediatik (ukuran keberhasilannya di ukur dari coverage media terhadap
aksi-aksinya) maka sangat jelas bahwa orientasi hanya bersifat jangka pendek.
Gerakan-gerakan inilah yang didorong justru oleh struktur neoliberalisme karena
gampang di patahkan dan di aborsi.
Mari kita mencoba melihat
nalar masing-masing gerakan ini. Gerakan anti globalisasi (jika
sungguh-sungguh) didominasi oleh nalar anti asing (xenophobia) yang melihat
setiap orang luar yang masuk ke dalam wilayahnnya sebagai ancaman tanpa mencoba
mengambil manfaat dari interaksi yang mungkin terjadi antara keduanya. Karena
globalisasi berintikan pemain-pemain asing yang dilihat sebagai ancaman, maka
untuk melawannya harus dengan gerakan anti globalisasi. Gerakan ini menafikkan
interaksi dan komunikasi, pertukaran antara global structure dengan local
structure. Nalar anti asing ini bermanfaat jika secara setrategis dapat
digunakan untuk membangkitkan semangat dan kreatifitas internal berhadapan
dengan global threat tadi. Tetapi dampak yang ditimbulkan oleh nalar semacam
ini adalah isolasi diri dari pergaulan dunia tanpa mencoba untuk belajar dari
keberhasilan negara-negara lain, walaupun tidak harus mengikuti jalan mereka.
Sementara nalar para
pendukung buta globalisasi adalah nalar agent (baca : marsose) jika diletakkan
dalam kondisi kerapuhan dan fragmentasi struktur lokal ini. Nalar ini bekerja
sesuai dengan keinginan supplier dan produsennya, tidak mempunyai kesetiaan
terhadap komunitas besar dari mana ia berasal dan menghanyutkan diri dalam
hiruk-pikuk kepentingan sang juragan. Yang menarik di level praksis gerakan
anti globalisasi akan dihadapkan dengan agen-agen ini. Jadi medan pertempuran kedua
gerakan ini tetap di dalam kampung sendiri sehingga ketika pertempuran usai
hanya menyisakan puing-puing sementara barang-barang berharga milik kampungnya
telah di jarah oleh sang juragan.
Kedua model gerakan ini
tidak memiliki contigensy plan karena memang tidak didesain untuk dapat
survive, ini dapat terlihat dari jalur0jalur produksi-distribusi-warring
position. Gerakan seharusnya ditujukan untuk kemajuan komunitas besar dari mana
ia berasal. Kamajuan dalam pengertian naik-kelas dari komunitas yang tidak
dapat berbuat apa-apamenjdi bersuara dan didengar oleh orang lain.Tentu
naik-kelas disini berada pada level dunia Kerja-kerja gerakan adalah
kerja-kerja sistem dunia (baca peradaban) sehingga para aktivis gerakan tidak
terjebak dalam kenikmatan sesaat yang ditawarkan oleh sistem yang hendak di
ubahnya.
Dalam situasi dan kondisi
kuatnya penetrasi struktur global atas fragmentasi struktur lokal, maka
setrategi gerakan yang paling dimungkinkan dan memiliki tingkat survival yang
tinggi adalah gerakan yang mampu bermain di tengah-tengah tekanan ini. Dari
sini gerakan ini setidaknya melakukan perebutan (warring position) di tiga
front sekaligus, yaitu local front, global front dan internal-movement front.
Karena itu setrategi yang harus di gunakan adalah multi level setrategy. Kita
harus meninggalkan single setrategy yang selama ini kita gunakan dengan dalih
konsistensi gerakan. Jika bukan lagi anti-systemic movement ala Wallersteihn,
bukan juga systemic movement karena itu dapat terpeleset menjadi korban. Bukan
systemic movement pun karena tidak ditujukan untuk memperkuat sistem yang
berjalan, tetapi non systemic movement berjalan dalam sistem tersebut sambil
menciptakan conditions of possibilities untuk membangun sistem yang sama sekali
berbeda. Ini terkait erat dengan setrategy gerakan multi-level dalam front yang
berbeda. Dengan demikian, ini meniscayakan multi centers yang saling memahami
posisi masing-masing, dalam tataran tertentu memang diperlukan central-planner.
Gerakan di tiga front
tersebut secara terpusat memerlukan kelenturan yang luar biasa, ini terkait
denganh energi di ketiga front. Pada suatu ketika struktur global diperlukan
untuk menghapuskan local structural constraints yang membahayakan gerakan.
Demikian pula struktur lokal juga diperlukan untuk menghambat gerak maju
struktur global tersebut. Diluar keduanya front dalam gerakan
(internal-movement) menempati posisi yang paling penting dalam kontinuitas
gerakan membangun sistem karena front ini adalah home-base bagi kedua yang
lain. Justru energi yang diperoleh dari perebutan di front lokal dan global
tersebut harus dipertaruhkan untuk memperkuat front ini. Disinilah hidup mati
gerakan.
Ditingkat operasional
paradigma ini dapat dimulai dengan hal-hal yang sangat sederhana. Untuk front global
dapat dimulai dengan membangun sebuah pusat kajian untuk pasar bebas, pusat
kajian Cina dan lain sebagainya. Sementara untuk front lokal dapat dimulai
dengan membangun kajian tentang kerja-sama antar pulau (insular cooperation)
dan sebagainya untuk membangun jalur-jalur konvensional patah. Pada gilirannya
front dalam gerakan menyediakan mekanisme kaderisasi yang secara terus menerus
menyediakan para pemain untuk mendidtribusikan disemua front. Sebagai home-base
maka front ini harus totally secured, secara akumulatif-sirkular, gerakan ini
akan memperbesar ruang pengaruhnya (spare of influence) sehinga berhasil
membangun tata peradaban baru.
Selamat Berdiskusi!
Jogjakarta, 29 agustus 2008
NUR SAYYID SANTOSO KRISTEVA
Referensi
Prof. Dr. Sediono MP Tjondronegoro, Sejarah
dan Politik Pertanian, Guru Besar Sosiologi Institut Pertanian Bogor,
Makalah disampaikan dalam Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Jakarta, 19 Maret
2002.
Paul Hirst & Grahame Thompson , Globalisasi
Adalah Mitos, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Darsono P, dalam Globalisasi
Suatu Strategi Penjajahan Bentuk Baru,
http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2006-november/000189.htm.
Paul M Sweezy, “Kapitalisme
Modern”, dalam Kapitalisme: Dulu dan Sekarang: Kumpulan Karangan dari
berbagai sumber asing, LP3ES, Jakarta, 1987.
Links, International Journal of Sosialist
Renewal, No. 7 tahun 1996
Jan Nederveen Pieterse, “Globalization as
Hybridization”, individu Mike Featherstone et all. Edt, Global
Modernities, Sage Publications, London, 1995.
Budi Winarno, “Ekonomi Global dan Krisis
Demokrasi”, dalam Jurnal Hubungan Internasional, Edisi 1, Februari
2004.
Thomas L Friedman, The Lexus and The Oleive
Tree, Harper Collins Publisher, London, 2000.
Anthony Giddens, Run Way World: Bagaimana
Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.
Hasan Hanafi, Cakrawala Baru Peradaban Global:
Revolusi Islam Untuk Globalisme, Pluralisme, Egalitarianisme Antar Peradaban,
IRCiSoD, Yogyakarta, 2003.
M Arif Nasution, Globalisasi
dan Migrasi Antar Negara, Penerbit Alami, Bandung, 1999.
Roland H Chilcote, Theories of Development and
Under-Development, Westview Press, Colorado, 1994.
Frachan Bulkin, dalam
pengantarnya untuk Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, LP3ES,
Jakarta, 1985.
Martin Khoor, Globalisasi
Perangkap Negara-negara Selatan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas,
Yogyakarta, 2000.
Charles W. Kegley, Jr & Eugene R. Wittkopt, World
Politics: Trend and Transformation 7th Edition, Worth
Publishers, London, 1999.
Kompas, “Lengser a’la Bill Gates”, 22 Januari 2000
David Held & Anthony Mc Grew, David Goldblat
& Jonathan Peraton, Global Transformation: Politics, Economics and
Culture, Polity Press, Great Britain, 1999.
James Petras, “Negara
Sebagai Agen Imperialis”, dalam Globalisasi Perspektif Sosialis, Ali
Sugihardjanto, dkk, Penerbit Cubuc, Jakarta, 2001.
Stephan Haggard & Robert R. Kaufman, ed., Introduction:
Institution and Economic Adjustment, Princeton University Press, Princeton,
NJ, 1992.
Thomas J Bierstecker., “The Logic of Unfulfilled
Pomise of Privatization individu Developing Countries”, individu Louis Puterman
& Dietrich Ruescameyer, eds, State and Market individu Development:
Sinergy of Rivalry?, Bouldera, CO: Liene Riener, Publisher, Inc, 1992.
Jerry Mander, Debi Barker & David Korten,
“Globalisasi Membantu Kum Miskin”, dalam Globalisasi Kemiskinan &
Ketimpangan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003
Soedjatmoko, Etika
Pembebasan, Pilihan Karangan tentang Agama Kebudayaan Sejarah dan Ilmu
Pengetahuan, Jakarta, LP3ES, 1984.
Data Internet
http://www.theindonesianinstitute.org/gglob02.htm.
http://www.westpapua.net/doc/paper/paper6/capitalism.htm
http://www.al-islam.or.id/tampil.php?halaman=buletin&id=24
http://www.kompas.com/kompascetak/0304/28/nasional/280846.htm
http://www.westpapua.net/doc/paper/paper6/capitalism.htm
http://www.pds.or.id/globalisasi_penghisapan_rakyat_htm.
http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/06nov/000189.htm.
http://isac.blogdrive.com/archive/10.htm
1 Dipresentasikan pada acara Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Cabang
Sukoharjo, Boyolali, 30 Agustus 2008.
2 Penulis lahir di Cilacap, 27 Juli 1980, Alumnus UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Aktivis PMII Daerah Istimewa Jogjakarta, Pernah menjabat Sekjend Dewan
Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Dosen Muda Di
Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap, sekarang sedang menempuh
studi pada Program Pascasarjana Sosiologi FISIPOL UGM.
3 Prof. Dr. Sediono MP Tjondronegoro: Guru Besar Sosiologi Institut
Pertanian Bogor, Makalah disampaikan dalam Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Sejarah
dan Politik Pertanian, Jakarta, 19 Maret 2002.
4 Gagasan dasar Seminar Ekonomi Rakyat di Jakarta selama 6 bulan
sejak 22 Januari hingga 2 Juli 2002, diselenggarakan oleh Pusat P3R-YAE (Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Perekonomian Rakyat-Yayasan Agro Ekonomika), Komisi
Ilmu-ilmu Sosial–AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), Bina Swadaya
Perhepi (Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, ISI (Ikatan Sosiologi Indonesia),
Gema PKM (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia).
5 Kemerosotan Etika Pembangunan khususnya di bidang hukum dan bisnis
modern berkaitan erat dengan pemaksaan dipatuhinya aturan main global yang
masih asing dan sulit dipenuhi perusahaan-perusahaan nasional. Aturan main
globalisasi dengan paham Neoliberal yang garang terutama berasal dari ajaran
“Konsensus Washington” telah menyudutkan peranan negara-negara berkembang
termasuk Indonesia. KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) merupakan jalan pintas
para pelaku bisnis untuk memenangkan persaingan secara tidak bermoral yang
merasuk pada birokrasi yang berciri semi-feodal. Etika Ekonomi Rakyat yang
jujur, demokratis, dan terbuka, yang menekankan pada tindakan bersama (collective
action) dan kerjasama (cooperation), merupakan kunci penyehatan dan
pemulihan ekonomi nasional dari kondisi krisis yang berkepanjangan. Inilah
moral pembangunan nasional yang percaya pada kekuatan dan ketahanan ekonomi
bangsa sendiri.
6 Paul Hirst & Grahame Thompson , Globalisasi Adalah Mitos, Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia, 2001. Hlm. 31-34.
7 Liaht Darsono P, dalam Globalisasi Suatu
Strategi Penjajahan Bentuk Baru,
http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2006-november/000189.htm.
8 Paul M Sweezy, “Kapitalisme Modern”, dalam Kapitalisme:
Dulu dan Sekarang: Kumpulan Karangan dari berbagai sumber asing, LP3ES,
Jakarta, 1987, hlm. 5
11 Jan Nederveen Pieterse, “Globalization as Hybridization”,
individu Mike Featherstone et all. Edt, Global Modernities, Sage
Publications, London, 1995, hlm. 47
12 Budi Winarno, “Ekonomi Global dan Krisis Demokrasi”, dalam Jurnal
Hubungan Internasional, Edisi 1, Februari 2004, hlm. 7
14 Dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan
menjadi pembangunanisme. Developmen-talisme adalah sebuah istilah ekonomi-politik.
Sebuah konsep atau kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang
dicetuskan pada masa Presiden Harry S Truman pada tahun 1949 untuk menjawab
berbagai permasalahan kemiskinan atau keterbelakangan (Underdevelopment)
yang terjadi di Negara-negara dunia ketiga, sekaligus sebagai alat ideologi
untuk membendung sosialisme.
15 Fase di mana dekolonisasi ditawarkan bagi
dunia ketiga dan terjadi proses eksploitasi kapitalisme dari yang bersifat
kolonilistik kepada fase yang bersifat lunak
21 Thomas L Friedman, The Lexus and The Oleive Tree, Harper
Collins Publisher, London, 2000, hlm. 31
22 Anthony Giddens, Run Way World: Bagaimana Globalisasi Merombak
Kehidupan Kita, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 5
23 Hasan Hanafi, Cakrawala Baru Peradaban Global: Revolusi Islam
Untuk Globalisme, Pluralisme, Egalitarianisme Antar Peradaban, IRCiSoD,
Yogyakarta, 2003, hlm. 69
24 Lihat M Arif Nasution, Globalisasi dan
Migrasi Antar Negara, Penerbit Alami, Bandung, 1999, hlm. 65
25 Wallerstain, seperti dikutip Roland H Chilcote, Theories of
Development and Under-Development, Westview Press, Colorado, 1994, hlm. 94
26 Frachan Bulkin, dalam pengantarnya untuk
Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1985
28 Martin Khoor, Globalisasi Perangkap
Negara-negara Selatan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2000,
hlm. 10.
32 Charles W. Kegley, Jr & Eugene R. Wittkopt, World Politics:
Trend and Transformation 7th Edition, Worth
Publishers, London, 1999, hlm. 249
35 David Held & Anthony Mc Grew, David Goldblat & Jonathan
Peraton, Global Transformation: Politics, Economics and Culture, Polity
Press, Great Britain, 1999, hlm. 260
38 Lihat. Kita, Dunia dan Globalisasi:
Menelisik Pemikiran Joseph S. Nye, dalam
http://isac.blogdrive.com/archive/10.htm
39 Dari Negara-negar imperialis inilah muncul korporasi-korporasi
global yang menjadi pelaku utama juga pada saat ini, dan agen utama eksploitasi
berbagai sumberdaya di berbagai belahan dunia ketiga, yang pada akhirnya
hasilnya dibawa kembali ke Negara-negara metropolis
40 Lihat: James Petras, “Negara Sebagai Agen
Imperialis”, dalam Globalisasi Perspektif Sosialis, Ali Sugihardjanto,
dkk, Penerbit Cubuc, Jakarta, 2001, hlm. 164
42 Stephan Haggard & Robert R. Kaufman, ed., Introduction:
Institution and Economic Adjustment, Princeton University Press, Princeton,
NJ, 1992, hlm. 3
43 Thomas J Bierstecker., “The Logic of Unfulfilled Pomise of
Privatization individu Developing Countries”, individu Louis Puterman &
Dietrich Ruescameyer, eds, State and Market individu Development: Sinergy of
Rivalry?, Bouldera, CO: Liene Riener, Publisher, Inc, 1992, hlm. 106
45 Jerry Mander, Debi Barker & David Korten, “Globalisasi
Membantu Kum Miskin”, dalam Globalisasi Kemiskinan & Ketimpangan,
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003, hlm. 10-12
46 Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Pilihan
Karangan tentang Agama Kebudayaan Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta,
LP3ES, 1984. hlm. 277.