PENGANTAR
Saat ini tidak ada yang bisa membantah
kedigdayaan rezim kapitalisme mendominasi peradaban dunia global. Berakhirnya
Perang Dingin menyusul ambruknya komunisme-sosialisme Uni Soviet beserta
negara-negara satelitnyasering diinterpretasikan sebagai kemenangan
kapitalisme. Hampir
dalam setiap sektor kehidupan, logika dan budaya kapitalisme hadirmenggerakkan aktivitas. Kritik-kritik yang ditujukan terhadap kapitalisme justru bermuara kepada terkooptasinya kritik-kritik tersebut untuk lebih mengukuhkan kapitalisme.
dalam setiap sektor kehidupan, logika dan budaya kapitalisme hadirmenggerakkan aktivitas. Kritik-kritik yang ditujukan terhadap kapitalisme justru bermuara kepada terkooptasinya kritik-kritik tersebut untuk lebih mengukuhkan kapitalisme.
Muncul pertanyaan lain, ke arah mana peradaban
manusia akan dibawa oleh kapitalisme. Apakah gerangan yang menyebabkan ideologi
ini tetap bertahan, dan bahkan, kian mendominasi dunia? Apakah hegemoni
kapitalisme ini merupakan akhir sejarah umat manusia atau sebagai satu-satunya alternatif
yang mesti diterima sebagaimana yang diperkirakan oleh Francis Fukuyama dalam The
End of History? Masih berpeluangkah proyek emansipasi manusia dari dominasi kapital dan fetisisme komditas?
End of History? Masih berpeluangkah proyek emansipasi manusia dari dominasi kapital dan fetisisme komditas?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas,
diperlukan pemahaman yang tepat mengenai pengertian hakiki apa itu sesungguhnya
kapitalisme.
I. PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN KAPITALISME
I.1. Pengertian Kapitalisme
Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang
menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya,
termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Bagus,
1996). Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang
menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan
kapitalisme sebagai bagian dari
gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978) memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.
gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978) memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.
Menurut Ayn Rand (1970), kapitalisme adalah
"a social system based on the recognition of individual rights,
including property rights, in which all property is privately owned".
(Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu,
termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat).
Heilbroner (1991) secara dinamis menyebut
kapitalisme sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat tertentu dan logika
yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud mengacu pada gerakan-gerakan
dan perubahan-perubahan dalam proses-proses kehidupan dan konfigurasi-konfigurasi
kelembagaan dari suatu masyarakat. Istilah "formasi sosial" yang diperkenalkan
oleh Karl Marx ini juga dipakai oleh Jurgen Habermas. Dalam Legitimation
Crisis (1988), Habermas menyebut kapitalisme sebagai salah satu empat
formasi sosial (primitif, tradisional, kapitalisme, post-kapitalisme).
I.2. Sejarah Perkembangan Kapitalisme Robert E. Lerner dalam Western Civilization (1988) menyebutkan bahwa revolusi komersial dan industri pada dunia modern awal dipengaruhi oleh asumsi-asumsi kapitalisme dan merkantilisme. Direduksi kepada pengertian yang sederhana, kapitalisme adalah sebuah sistem produksi, distribusi, dan pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi diinvestasikan kembali oleh pemilik pribadi untuk memperoleh keuntungan. Kapitalisme adalah sebuah sistem yang didisain untuk mendorong ekspansi komersial melewati batas-batas lokal menuju skala nasional dan internasional. Pengusaha kapitalis mempelajari pola-pola perdagangan internasional, di mana pasar berada dan bagamana memanipulasi pasar untuk keuntungan mereka. Penjelasan Robert Learner ini paralel dengan tudingan Karl Marx bahwa imperialisme adalah kepanjangan tangan dari kapitalisme.
Sistem kapitalisme, menurut Ebenstein (1990),
mulai berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar luas ke
kawasan Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Risalah terkenal Adam Smith, yaitu
The Wealth of Nations (1776), diakui sebagai tonggak utama kapitalisme
klasik yang mengekspresikan gagasan "laissez faire"1) dalam ekonomi.
Bertentangan sekali dengan merkantilisme yaitu adanya intervensi pemerintah
dalam urusan negara. Smith berpendapat bahwa jalan yang terbaik untuk
memperoleh kemakmuran adalah dengan membiarkan individu-individu mengejar
kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan perusahaan-perusahaan
negara (Robert Lerner, 1988).
Awal abad 20 kapitalisme harus menghadapi
berbagai tekanan dan ketegangan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Munculnya
kerajaan-kerajaan industri yang cenderung menjadi birokratis uniform dan
terjadinya konsentrasinya pemilikan saham oleh segelintir individu kapitalis
memaksa pemerintah (Barat) mengintervensi mekanisme pasar melalui kebijakan-kebijakan
seperti
undang-undang anti-monopoli, sistem perpajakan, dan jaminan kesejahteraan. Fenomena intervensi negara terhadap sistem pasar dan meningkatnya tanggung jawab pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial dan ekonomi merupakan indikasi terjadinya transformasi kapitalisme. Transformasi ini, menurut Ebenstein, dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri dengan
berbagai perubahan ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep negara kemakmuran (welfare state) yang oleh Ebenstein disebut sebagai "perekonomian campuran" (mixed economy) yang mengkombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan tanggungj awab negara untuk kemakmuran sosial.
undang-undang anti-monopoli, sistem perpajakan, dan jaminan kesejahteraan. Fenomena intervensi negara terhadap sistem pasar dan meningkatnya tanggung jawab pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial dan ekonomi merupakan indikasi terjadinya transformasi kapitalisme. Transformasi ini, menurut Ebenstein, dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri dengan
berbagai perubahan ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep negara kemakmuran (welfare state) yang oleh Ebenstein disebut sebagai "perekonomian campuran" (mixed economy) yang mengkombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan tanggungj awab negara untuk kemakmuran sosial.
Habermas memandang transformasi itu sebagai
peralihan dari kapitalisme liberal kepada kapitalisme lanjut (late
capitalism. organized capitalism, advanced capitalism). Dalam Legitimation
Crisis (1988), Habermas menyebutkan bahwa state regulated capitalism
(nama lain kapitalisme lanjut) mengacu kepada dua fenomena: (a) terjadinya proses
konsentrasi ekonomi seperti korporasi-korporasi nasional dan internasional yang
menciptakan struktur pasar oligopolistik, dan
(b) intervensi negara dalam pasar. Untuk melegitimasi intervensi negara
yang secara esensial kontradiktif dengan kapitalisme liberal, maka menurut
Habermas, dilakukan repolitisasi massa,
sebagai kebalikan dari depolitisasi massa
dalam masyarakat kapitalis liberal. Upaya ini terwujud dalam sistem demokrasi
formal.
II. PRINSIP-PRINSIP DASAR KAPITALISME
II.1. Tiga Asumsi Kapitalisme Menurut Ayn Rand II. PRINSIP-PRINSIP DASAR KAPITALISME
Ayn Rand dalam Capitalism (1970) menyebutkan tiga asumsi dasar kapitalisme, yaitu: (a) kebebasan individu, (b) kepentingan diri (selfishness), dan (c) pasar bebas.
Menurut Rand, kebebasan individu merupakan tiang pokok kapitalisme, karena dengan pengakuan hak alami tersebut individu bebas berpikir, berkarya dan berproduksi untuk keberlangsungan hidupnya. Pada gilirannya, pengakuan institusi hak individu memungkinkan individu untuk memenuhi kepentingan dirinya. Menurut Rand, manusia hidup pertama-tama untuk dirinya sendiri, bukan untuk kesejahteraan orang lain. Rand menolak keras kolektivisme, altruisme, mistisisme. Konsep dasar bebas Rand merupakan aplikasi sosial dan pandangan epistemologisnya yang natural mekanistik. Terpengaruh oleh gagasan "the invisible hand" dari Smith, pasar bebas dilihat oleh Rand sebagai proses yang senantiasa berkembang dan selalu menuntut yang terbaik atau paling rasional. Smith pernah berkata: "free market forces is allowed to balance equitably the distribution of wealth". (Robert Lerner, 1988).
II.2. Akumulasi Kapital
Heilbroner (1991) menelaah secara mendalam
pengertian hakiki dari kapital. Apa yang dimaksud dengan kapital sehingga dapat
menjelaskan formasi sosial tempat kita hidup sekarang adalah kapitalisme?
Heilbroner menolak memperlakukan kapital hanya dalam kategori hal-hal yang
material berupa barang atau uang. Menurutnya, jika kapital hanya berupa barang-barang
produksi atau uang yang diperlukan guna membeli material dan kerja, maka kapital
akan sama tuanya dengan peradaban.
Menurut Heilbroner, kapital adalah faktor yang
mnggerakkan suatu pross transformasi berlanjut atas kapital-sebagai-uang menjadi
kapital-sebagai komoditi, diikuti oleh suatu transformasi dari kapital-sebagai-komoditi
menjadi kapital-sebagai uang yang bertambah. Inilah rumusan M-C-M yang
diperkenalkan Marx.
Proses yang berulang dan ekspansif ini memang
diarahkan untuk membuat barang-barang dan jasa-jasa dengan pengorganisasian
niaga dan produksi. Eksistensi fisik benda dan jasa itu merupakan suatu rintangan
yang harus diatasi dengan mengubah komoditi menjadi uang kembali. Bahkan kalau hal
itu terjadi, bila sudah terjual, maka uang itu pada gilirannya tidak dianggap
sebagai produk akhir dari pencarian tetapi hanya sebagai suatu tahap dalam
lingkaran yang tak berakhir.
Karena itu, menurut Heilbroner, kapital bukanlah
suatu benda material melainkan suatu proses yang memakai benda-benda material
sebagai tahap-tahap dalam eksistensi dinamiknya yang berkelanjutnya. Kapital
adalah suatu proses sosial, bukan proses fisik. Kapital memang mengambil bentuk
fisik, tetapi maknanya hanya bisa dipahami jika kita memandang bahwa benda-benda
material ini mewujudkan dan menyimbolkan suatu totalitas yang meluas.
Rumusan M-C-M (Money-Commodity-Money) yang
diskemakan Marx atas metamorfosis yang berulang dan meluas yang dijalani
kapital merupakan penemuan Marx terhadap esensi kapitalisme, yaitu akumulasi
modal. Dalam pertukaran M-C-M tersebut uang bukan lagi alat tukar, tetapi
sebagai komoditas itu sndiri dan menjadi tujuan pertukaran.
II.3. Dorongan Untuk Mengakumulasi Kapital
(Heilbroner)
Analisis kapital sebagai suatu proses ekspansif seperti yang diuraikan di muka, ditelaah lebih dalam lagi oleh Heilbroner melalui pendekatan psikoanalisis, antropologis, dan sosiologis. Menurut Heilbroner, gagasan kapital sebagai suatu hubungan sosial menyingkapkan inti hubungan itu, yaitu dominasi. Hubungan dominasi memiliki dua kutub. Pertama, ketergantungan sosial kaum yang tak
berpunya kepada pemilik kapital di mana tanpa ketergantungan itu kapital tidak memiliki pengaruh apa-apa. Kedua, dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi kapital.
Analisis kapital sebagai suatu proses ekspansif seperti yang diuraikan di muka, ditelaah lebih dalam lagi oleh Heilbroner melalui pendekatan psikoanalisis, antropologis, dan sosiologis. Menurut Heilbroner, gagasan kapital sebagai suatu hubungan sosial menyingkapkan inti hubungan itu, yaitu dominasi. Hubungan dominasi memiliki dua kutub. Pertama, ketergantungan sosial kaum yang tak
berpunya kepada pemilik kapital di mana tanpa ketergantungan itu kapital tidak memiliki pengaruh apa-apa. Kedua, dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi kapital.
Heilbroner melontarkan pertanyaan: Apakah alasan
pembenaran dari proses tanpa henti ini? Ia menyebutkan bahwa dorongan ini digerakkan
oleh keinginan untuk prestise dan kemenonjolan (realisasi diri)2. Dalam bahasa Abraham
Maslow, dorongan mengakumulasi kekayaan yang tidak puas-puas ini merupakan manifestasi
aktualisasi diri. Namun, Heilbroner mengingatkan bahwa kebutuhan afektif ini
hanyalah suatu kondisi yang perlu (necessary condition) namun belum
menjadi syarat cukup (sufficient condition) untuk dorongan mengejar
kekayaan. Lalu Heilbroner menemukan bahwa kekayaan memberikan pemiliknya kemampuan
untuk mengarahkan dan memobilisasikan kegiatan-kegiatan masyarakat. Ini adalah
kekuasaan. Kekayaan adalah suatu kategori sosial yang tidak
terpisahkan dari kekuasaan.
Dengan demikian, hakekat kapitalisme menurut
Heilbroner, adalah dorongan tiada henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi
kapital sebagai sublimasi dorongan bawah sadar manusia untuk merealisasi diri,
mendominasi, berkuasa. Karena dorongan ini berakar pada jati diri manusia, maka
kapitalisme lebih merupakan salah satu modus eksistensi manusia. Mungkin inilah
sebabnya mengapa kapitalisme mampu bertahan dan malah menjadi hegemoni
peradaban global.
III. TINJAUAN KRITIS
Tinjauan kritis ini dibuat dengan asumsi bahwa
analisis sosial memiliki keterbatasan-keterbatasan skematisasi dinamika
kehidupan sosial. Tinjauan tentang kekuatan dan kelemahan kapitalisme lebih merupakan
hipotesa.
III.1. Kekuatan Kapitalisme
Unsur-unsur apa yang dikandung kapitalisme
sehingga ia saat ini tetap tangguh? Terdapat beberapa kekuatan yang
memungkinkan kapitalisme masih bertahan hingga kini melalui berbagai kritikan
tajam dan rintangan.
Pertama, daya adaptasi dan transformasi
kapitalisme yang sangat tinggi, sehingga ia mampu menyerap dan memodifikasi
setiap kritik dan rintangan untuk memperkuat eksistensinya. Sebagai contoh,
bagaimana ancaman pemberontakan kaum buruh yang diramalkan Marx tidak terwujud,
karena di satu sisi, kaum buruh mengalami pembekuan kesadaran kritis (reifikasi),
dan di lain sisi,
kelas borjuasi kapital melalui negara memberikan "kebaikan hati" kepada kaum buruh dengan konsep "welfare state". Pada gilirannya, kaum kapitalis memperoleh persetujuan (consent) untuk mendominasi masyarakat melalui apa yang disebut Gramsci sebagai hegemoni ekonomi, politik, budaya; atau seperti yang disebutkan Heilbroner bahwa rezim kapital memiliki kemampuan untuk
memperoleh kepatuhan massa dengan memunculkan "patriotisme" ekonomik.
kelas borjuasi kapital melalui negara memberikan "kebaikan hati" kepada kaum buruh dengan konsep "welfare state". Pada gilirannya, kaum kapitalis memperoleh persetujuan (consent) untuk mendominasi masyarakat melalui apa yang disebut Gramsci sebagai hegemoni ekonomi, politik, budaya; atau seperti yang disebutkan Heilbroner bahwa rezim kapital memiliki kemampuan untuk
memperoleh kepatuhan massa dengan memunculkan "patriotisme" ekonomik.
Kedua, berkaitan dengan yang pertama,
tingginya kemampuan adaptasi kapitalisme dapat dilacak kepada waktu inheren
pada hakekat kapitalisme, yaitu dorongan untuk berkuasa dan perwujudan diri
melalui kekayaan. Atas dasar itulah diantaranya, maka Peter Berger dalam Revolusi
Kapitalis (1990) berani bertaruh bahwa masa depan ekonomi dunia berada
dalam genggaman kapitalisme.
Ketiga, kreativitas budaya kapitalisme dan
kapasitasnya menyerap ide-ide serta toleransi terhadap berbagai pemikiran.
Menurut Rand, kebebasan dan hak individu memberi ruang gerak manusia dalam
berinovasi dan berkarya demi tercapainya keberlangsungan hidup dan kebahagiaan.
Dengan dasar pemikiran ini, Bernard Murchland dalam Humanisme dan
Kapitalisme (1992) dengan penuh keyakinan menaruh harapan bahwa kapitalisme
demokratis adalah humanisme yang dapat
menyelamatkan peradaban manusia di masa depan.
menyelamatkan peradaban manusia di masa depan.
III.2. Kelemahan Kapitalisme
Mengacu kepada asumsi-asumsi dasar kapitalisme,
klaim-klaim pendukung kapitalisme dan praktek kapitalisme, terdapat beberapa
kelemahan mendasar kapitalisme.
Pertama, pandangan epistemologinya yang positivistik mekanistik. Positivisme yang memisahkan fakta dan nilai, bahkan hanya terpaku pada apa yang disebut fenomena fakta dan mengabaikan nilai, terbukti sudah ketidakmampuannya menjelaskan perkembangan sains modern dan kritikan dari fenomenologi hermeneutik (human sciences). Pola pikir positivistik hanya satu dimensi, yaitu
dialektika positif, yang pada gilirannya mereduksi kemampuan refleksi kritis manusia untuk menari makna-makna tersembunyi di balik fenomena-fenomena. Herbert Marcuse dalam One Dimensional Man (1991) berkata: "... Kapitalisme, yang didorng oleh teknologi, telah mengembang untuk mengisi semua ruang sosial kita; telah menjadi suatu semesta politis selain psikologis. Kekuasaan totalitarian ini mempertahankan hegemoninya dengan merampas fungsi kritisnya dari semua oposisi, yaitu kemampuannya berpikir negatif mengenai sistem, dan dengan memaksakan kebutuhan-kebutuhan palsu melalui iklan, kendali pasar, dan media. Maka, kebebasan itu sendiri menjadi alat dominasi, dan akal menyembunyikan sisi gelap irasionalitas..."
Pertama, pandangan epistemologinya yang positivistik mekanistik. Positivisme yang memisahkan fakta dan nilai, bahkan hanya terpaku pada apa yang disebut fenomena fakta dan mengabaikan nilai, terbukti sudah ketidakmampuannya menjelaskan perkembangan sains modern dan kritikan dari fenomenologi hermeneutik (human sciences). Pola pikir positivistik hanya satu dimensi, yaitu
dialektika positif, yang pada gilirannya mereduksi kemampuan refleksi kritis manusia untuk menari makna-makna tersembunyi di balik fenomena-fenomena. Herbert Marcuse dalam One Dimensional Man (1991) berkata: "... Kapitalisme, yang didorng oleh teknologi, telah mengembang untuk mengisi semua ruang sosial kita; telah menjadi suatu semesta politis selain psikologis. Kekuasaan totalitarian ini mempertahankan hegemoninya dengan merampas fungsi kritisnya dari semua oposisi, yaitu kemampuannya berpikir negatif mengenai sistem, dan dengan memaksakan kebutuhan-kebutuhan palsu melalui iklan, kendali pasar, dan media. Maka, kebebasan itu sendiri menjadi alat dominasi, dan akal menyembunyikan sisi gelap irasionalitas..."
Kedua, berkaitan dengan yang pertama,
asumsi antropologis yang dianut kapitalisme adalah pandangan reduksionis satu
dimensi manusia yang berasal dari rasionalisme Aufklarung. Temuan alam
bawa sadar psikoanalisis menunjukkan bahwa banyak perilaku manusia tidak
didorong oleh kesadaran atau rasionalitas, melainkan oleh ketidaksadaran dan
irasionalitas. Asumsi kapitalisme yang mengandaikan bahwa distribusi kekayaan
akan terjadi dengan sendirinya bila masyarakat telah makmur (contoh: konsep trickle
down effect) melupakan aspek irasionalitas manusia yang serakah dan keji.
Dorongan yang tidak pernah puas menumpukkan kapital sebagai watak khas
kapitalisme merupakan bentuk patologis megalomania dan narsisisme.
Ketiga, keserakahan mengakumulai kapital
berakibat pada eksploitasi yang melampau batas terhadap alam dan sesama
manusia, yang pada gilirannya masing-masing menimbulkan krisis ekonologis dan
dehumanisasi. Habermas (1988) menyebutkan kapitalisme lanjut menimbulkan ketidakseimbangan
ekologis, ketidakseimbangan antropologis (gangguan sistem personaliti), dan
ketidakseimbangan internasional.
ketidakseimbangan internasional.
Keempat, problem moral. Bernard Murchland
(1992), seorang pembela gigih kapitalisme, mengakui bahwa masalah yang paling
serius yang dihadapi kapitalisme demokratis adalah pengikisan basis moral. Ia
lalu menoleh ke negara-negara Timur yang kaya dengan komponen moral kultural.
Atas dasar problem etis inilah, maka Mangunwijaya (1998) dengan lantang
berkata: "... ternyatalah,
bahwa sistem liberal kapitalis, biar sudah direvisi, diadaptasi baru dan diperlunak sekalipun, dibolak-balik diargumentasi dengan fasih ilmiah seribu kepala botak, ternyata hanya dapat berfungsi dengan tumbal-tumbal sekian milyar rakyat dina lemah miskin di seluruh duia, termasuk dan teristimewa Indonesia...."
bahwa sistem liberal kapitalis, biar sudah direvisi, diadaptasi baru dan diperlunak sekalipun, dibolak-balik diargumentasi dengan fasih ilmiah seribu kepala botak, ternyata hanya dapat berfungsi dengan tumbal-tumbal sekian milyar rakyat dina lemah miskin di seluruh duia, termasuk dan teristimewa Indonesia...."
Kelima, implikasi dari praktek
mengkomoditikan segenap ide-ide dan kegiatan-kegiatan sosial budaya, maka
terjadilah krisis makna yang pada gilirannya menimbulkan krisis
motivasi. Habermas (1988) mengatakan bahwa pada tataran sistem politik, krisis
motivasii ni menimbulkan krisis legitimasi, atau menurut istilah
Heilbroner (1991) dengan krisis intervensi.
IV. KESIMPULAN
Analisis Heilbroner di muka, jika dikembangkan
lebih lanjut secara filosofis, akan membawa kita untuk berkesimpulan bahwa
kapitalisme lebih daripada sekedar sistem ekonomi atau sistem sosial. Sebagai
peradaban, kapitalisme dapat kita katakan sebagai suatu cara berada manusia, suatu
modus eksistensi. Seorang kapitalis adalah orang yang melalui harta
kekayaannya ia mewujudkan diri,
menyingkap eksistensi diri. Ia mengaktualkan dirinya dengan dan untuk kapital. Dengan kapital, ia berharap memperoleh kekuasaan dan dominasi. Memiliki kapital berarti menguasai dunia. Sains, teknologi, seni, dan agama menjadi subordinasi dan pelayan atau pelegitimasi kapital. Itulah modus eksistensi kapitalisme.
menyingkap eksistensi diri. Ia mengaktualkan dirinya dengan dan untuk kapital. Dengan kapital, ia berharap memperoleh kekuasaan dan dominasi. Memiliki kapital berarti menguasai dunia. Sains, teknologi, seni, dan agama menjadi subordinasi dan pelayan atau pelegitimasi kapital. Itulah modus eksistensi kapitalisme.
Atas dasar pemikiran di atas, kita dapat memahami
mengapa ideologi-ideologi seperti sosialisme, Marxisme, komunisme, humanisme,
dan bahkan eksistensialisme-sekuler gagal menghadapi kapitalisme. Kaum sosialis
telah gagal memahami kapitalisme sebagai modus eksistensi. Ini dimulai dari
Karl Marx sendiri yang melihat kapital hanya sebagai "cara produksi"
(modus produksi), konsep sentral yang digunakannya dalam Das Kapital.
Akibatnya, banyak analiss dan ramalan Marx yang melenceng. Bahkan sosialisme
akhirnya terkooptasi oleh kapitalisme. Konsep "welfare state" yang diterapkan
di negara kapitalis adalah salah satu contoh upaya adaptasi kapitalisme
merangkul semangat sosialisme ke dalam pangkuannya. Ideologi-ideologi sekuler
dunia lainnya sekarang ini hanyalah ibarat anak-anak kapitalisme atau
subordinasi kapitalisme global, kapitalisme konsumeris.
Kaum Mazhab Frankfurt sebagai pewaris semangat
kritisi sosial Marx yang pada mulanya mencanangkan proyek pembebasan masyarakat
dari hegemoni kapitalisme akhirnya juga jatuh kepada pesimisme. Mereka
seakan-akan tidak melihat lagi adanya peluang untuk menciptakan dunia
alternatif selain dunia ciptaan kapital. Mereka menganggap manusia modern telah
kehilangan
rasionalitas dan kesadaran kritis. Kini mereka seakan tak mampu lagi bersuara lantang menentang kapitalisme sebagaimana pendahulu mereka, katakanlah misalnya Herbert Marcuse yang menulis One Dimensional Man. Para pendukung teori kritis inipun seakan tidak bereaksi ketika Perter Berger, seorang pembela kapitalisme, dengan arogan mengatakan sosialisme adalah mitos, sedang kapitalisme adalah masa depan manusia.
rasionalitas dan kesadaran kritis. Kini mereka seakan tak mampu lagi bersuara lantang menentang kapitalisme sebagaimana pendahulu mereka, katakanlah misalnya Herbert Marcuse yang menulis One Dimensional Man. Para pendukung teori kritis inipun seakan tidak bereaksi ketika Perter Berger, seorang pembela kapitalisme, dengan arogan mengatakan sosialisme adalah mitos, sedang kapitalisme adalah masa depan manusia.
Sementara itu, analisis Max Weber yang mengaitkan
perkembangan kapitalisme dengan etos kerja Protestan kini juga bermuara kepada
proses sekulerisasi yang tidak diperkirakan sebelumnya. Pada mulanya, motif
religius menggerakkan orang untuk kerja keras, tekun, efisien, dan berprestasi
karena perolehan kesuksusan duniawi diartikan sebagai tanda keselamatan ilahi.
Namun, proses sekulerisasi terjadi sedemikian rupa sehingga Tuhan dan akhirat
perlahan-lahan hilang dari kesadaran manusia. Aktivitas duniawi sama sekali
tidak lagi digerakkan oleh motivasi agama, namun semata-mata oleh motif
materialistik. Bergermenyebutkan Protestanisme sebagai manifestasi yang paling
sempurna dari proses dialektik di mana orientasi agama yang bersifat inner-worldly
itu "menggali kubur" untuk
dirinya sendiri.
dirinya sendiri.
Luar biasa memang pesona materi itu sehingga
motivasi agama pun akhirnya juga terkooptasi oleh motivasi materialistik.
V. SARAN
Dengan menelaah secara tajam hakekat kapitalisme,
kita dapat melihat kekuatan dan kelemahannya secara obyektif. Ini diperlukan
agar proyek besar pembebasan manusia dari hegemoni kapitalisme - tentu saja
yang berminat – dapat mengkonstruksi ideologi atau peradaban alternatif yang sungguh-sungguh
antitesis kapitalisme secara mendasar, radikal dan menyeluruh.
Persoalannya, bagaimana kita merancang antitesis
itu? Adakah modus eksistensi alternatif yang dapat menaklukkan kapitalisme
menjadi sekedar metode atau manajemen bisnis? Perlukah lebih dahulu kita
merombak secara revolusioner pandangan dunia (worldview) kita tentang
antropologi, kosmologi, teologi?
Catatan:
Catatan:
* Makalah sesi kedua Short-Course
kajian Ideologi, Peradaban dan Agama - HMI Cabang Depok dan FIKI-UI di PKTTI-UI
Depok, 21 Des. 1999.
1) Istilah "Laissez Faire"
berasal dari bahasa Perancis laissez faire la nature (let nature take
its course); dapat diartikan sebagai sikap pembiaran kebebasan
semaunya tanpa pengaturan dan kontrol.
2 Heilbroner mengutip pernyataan Adam
Smith sendiri dalam Theory of Moral Sentiments (1976): "Orang kaya
berbangga dalam kekayaan-kekayaan mereka, karena dia merasa bahwa
kekayaan-kekayaan itu membuatnya diperhatikan dunia. Memikirkan hal ini membuat dia berbesar hati dan membuatnya makin mencintai kekayaannya."
kekayaan-kekayaan itu membuatnya diperhatikan dunia. Memikirkan hal ini membuat dia berbesar hati dan membuatnya makin mencintai kekayaannya."
REFERENSI
1. Bagus, L., Kamus
Filsafat, Gramedia, Jakarta,
1996.
2. Berger, P., Revolusi Kapitalis, (terjemahan), LP3ES, Jakarta 1990.
3. Ebenstein, W., Isme-Isme Dewasa Ini, (terjemahan), Erlangga, Jakarta, 1990.
4. Habermas, J., Letigimation Crisis, Polity Press, Cambridge Oxford, 1988.
5. Hayek, F.A., The Prinsiples of A Liberal Social Order, dalam Anthony de Crespigny and
Jeremy Cronin, Ideologies of Politics, Oxford University Press, London, 1978.
6. Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika Kapitalisme, (terjemahan), LP3ES, Jakarta, 1991.
7. Lerner, R.E., Western Civilization, Volume 2, W.W. Norton & Company, Ney York-London,
1988.
8. Mangunwijaya, Y.B., Mencari Landasan Sendiri, Esei Pada Harian Kompas 1 September 1998,
Jakarta.
9. Marcuse, H., One Dimensional Man, Beacon Press, Boston, 1991.
10. Murchland, B., Humanisme dan Kapitalisme, (terjemahan), Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992.
11. Rand, A., Capitalism: The Unknown Ideal, A Signet Book, New York, 1970.
2. Berger, P., Revolusi Kapitalis, (terjemahan), LP3ES, Jakarta 1990.
3. Ebenstein, W., Isme-Isme Dewasa Ini, (terjemahan), Erlangga, Jakarta, 1990.
4. Habermas, J., Letigimation Crisis, Polity Press, Cambridge Oxford, 1988.
5. Hayek, F.A., The Prinsiples of A Liberal Social Order, dalam Anthony de Crespigny and
Jeremy Cronin, Ideologies of Politics, Oxford University Press, London, 1978.
6. Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika Kapitalisme, (terjemahan), LP3ES, Jakarta, 1991.
7. Lerner, R.E., Western Civilization, Volume 2, W.W. Norton & Company, Ney York-London,
1988.
8. Mangunwijaya, Y.B., Mencari Landasan Sendiri, Esei Pada Harian Kompas 1 September 1998,
Jakarta.
9. Marcuse, H., One Dimensional Man, Beacon Press, Boston, 1991.
10. Murchland, B., Humanisme dan Kapitalisme, (terjemahan), Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992.
11. Rand, A., Capitalism: The Unknown Ideal, A Signet Book, New York, 1970.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar